Naik kereta api, tut tut tut siapa hendak turut? Perjalanan
darat menggunakan bis sudah sering aku lakukan, perjalanan udara, untuk level
saya alhamdulillah sudah pernah, perjalanan laut belum pernah. Perjalanan darat
menggunakan kereta api menurutku mempunyai sense yang berbeda dengan lainnya.
Tak heran bila salah satu teman saya yang secara aktif mengikuti perkembangan
sejarah kereta api, jenisnya, rutenya dan lain sebagainya.
Perjalanan dengan kereta api mengingatkanku bahwa luasnya
Indonesia tidak hanya terwujud dengan bangunan jalan raya ataupun mall-mall di
samping kanan kirinya, hiruk pikuk kota dan jalanan padat yang selalu
menghalang laju pergerakan. Kereta api mempunyai jalur yang lebih filosofis,
bentangan panjang, terbuka, dengan pemandangan luas di kanan krinya.
Bila di Mesir ada kereta kambing, kereta listrik yang harus
mengalah dan berhenti ketika bertemu dengan mobil-mobil di persimpangan, maka
di Indonesia tidak mengenal stilah demikian, di Indonesia semua kereta
mempunyai jalur bebas hambatan, kecuali memang yang ingin melintas di
persimpangan adalah jenis kereta yang sama tapi dengan level berbeda, kereta
akan berhenti ketika kelas Binis dan Eksekutif melintas. Jalur lurus yang
terbentang itulah yang membuatku merasakan bahwa hidup ini selalu melaju.
Dengan kereta api kita tahu bahwa ada komunitas yang bernama
peternak, petani, atau pegiat perkebunan. Di dalam pelosok desa, hutan,
pesawahan, di samping jurang, sungai, Indonesia lebih aku rasakan ketika aku
melintasi pemandangan sepanjang rel kereta api. Bahkan sering aku menggerutu
betapa bodohnya aku dan mungkin kita sebagai penduduk Negeri. Alam yang begitu
sempurna ternyata belum bisa menjadikan kita bersyukur dan bijak dalam mengolah
sumber kehiupan kita.
Adanya macam-macam tanah yang terkesan digarap kurang
sempurna. Hutankah ini, kebun, atau sawah dengan tanaman padi? Aku sendiri
sulit membedakannya. Tanah terasering, atau memang perbukitan, tanah lepas yang
tak tergarap. Ahhh, sulit bagiku untuk memanggilnya area apa? Kenapa kebun, hutan,
sawah dan pedalamanku tidak seperti yang di film-film. Hijau yang benar-benar
hijau, kalau berwarna memang dengan warna yang sempurna. Di litntasan keretaku,
coklatnya tanah dengan cepat terganti dengan hitamnya bekas pembakaran,
dedaunan lebar jati bercampur dengan ilalang-ilalang berduri.
Di bentangan rel kereta api ini jugalah aku mengenal
beberapa macam infrastruktur di pedalaman. Jembatan, alat irigasi, atau
tiang-tiang besi membentuk semi-jembatan di pinggir sungai. Ada juga terowongan
panjang, seketika memasuki terowongan tersebut gelaplah sekeliling kereta. Ada
juga sungai di jawa yang luasnya cukup untuk tongkang, aku melihat perakitan
tongkang di sungai tersebut. Luasnya sawah masih banyak dikerjakan dengan cara
tradisional, padahal di daerah pedalaman Sragen saja alat untuk memanen padi
sudah ada yang memakai mesin, mesin jalan, memetik dan mengupasnya.
0 comments:
Post a Comment