Wednesday, 9 October 2013

Naik kereta api, tut tut tut siapa hendak turut? Perjalanan darat menggunakan bis sudah sering aku lakukan, perjalanan udara, untuk level saya alhamdulillah sudah pernah, perjalanan laut belum pernah. Perjalanan darat menggunakan kereta api menurutku mempunyai sense yang berbeda dengan lainnya. Tak heran bila salah satu teman saya yang secara aktif mengikuti perkembangan sejarah kereta api, jenisnya, rutenya dan lain sebagainya.

Perjalanan dengan kereta api mengingatkanku bahwa luasnya Indonesia tidak hanya terwujud dengan bangunan jalan raya ataupun mall-mall di samping kanan kirinya, hiruk pikuk kota dan jalanan padat yang selalu menghalang laju pergerakan. Kereta api mempunyai jalur yang lebih filosofis, bentangan panjang, terbuka, dengan pemandangan luas di kanan krinya.
Bila di Mesir ada kereta kambing, kereta listrik yang harus mengalah dan berhenti ketika bertemu dengan mobil-mobil di persimpangan, maka di Indonesia tidak mengenal stilah demikian, di Indonesia semua kereta mempunyai jalur bebas hambatan, kecuali memang yang ingin melintas di persimpangan adalah jenis kereta yang sama tapi dengan level berbeda, kereta akan berhenti ketika kelas Binis dan Eksekutif melintas. Jalur lurus yang terbentang itulah yang membuatku merasakan bahwa hidup ini selalu melaju.

Dengan kereta api kita tahu bahwa ada komunitas yang bernama peternak, petani, atau pegiat perkebunan. Di dalam pelosok desa, hutan, pesawahan, di samping jurang, sungai, Indonesia lebih aku rasakan ketika aku melintasi pemandangan sepanjang rel kereta api. Bahkan sering aku menggerutu betapa bodohnya aku dan mungkin kita sebagai penduduk Negeri. Alam yang begitu sempurna ternyata belum bisa menjadikan kita bersyukur dan bijak dalam mengolah sumber kehiupan kita.

Adanya macam-macam tanah yang terkesan digarap kurang sempurna. Hutankah ini, kebun, atau sawah dengan tanaman padi? Aku sendiri sulit membedakannya. Tanah terasering, atau memang perbukitan, tanah lepas yang tak tergarap. Ahhh, sulit bagiku untuk memanggilnya area apa? Kenapa kebun, hutan, sawah dan pedalamanku tidak seperti yang di film-film. Hijau yang benar-benar hijau, kalau berwarna memang dengan warna yang sempurna. Di litntasan keretaku, coklatnya tanah dengan cepat terganti dengan hitamnya bekas pembakaran, dedaunan lebar jati bercampur dengan ilalang-ilalang berduri.




Di bentangan rel kereta api ini jugalah aku mengenal beberapa macam infrastruktur di pedalaman. Jembatan, alat irigasi, atau tiang-tiang besi membentuk semi-jembatan di pinggir sungai. Ada juga terowongan panjang, seketika memasuki terowongan tersebut gelaplah sekeliling kereta. Ada juga sungai di jawa yang luasnya cukup untuk tongkang, aku melihat perakitan tongkang di sungai tersebut. Luasnya sawah masih banyak dikerjakan dengan cara tradisional, padahal di daerah pedalaman Sragen saja alat untuk memanen padi sudah ada yang memakai mesin, mesin jalan, memetik dan mengupasnya.

0 comments:

Post a Comment