Thursday, 12 March 2015


Saya menganggap kejadian di bawah ini sebagai tes psikologis dan keimanan saya terhadap Allah. Bahwa segala sesuatu pasti sudah Allah gariskan, dan dengan perhitungan-Nya akan ada dua kemungkinan, baik dan buruk respon seorang hamba tatkala diuji (semoga bukan diazab) oleh Pencipta; belajar mengimani takdir. Lebih dari itu, ternyata di satu peristiwa tersebut Allah berkenan memberi ujian dahsyat lainnya, ujian keimanan, akankah saya yang baru beberapa bulan pulang dari studi di Timur Tengah dengan mudah begitu saja terjerembab dalam kubangan kesyirikan? J
__________________________________

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 21 Juli 2012, atau adalah tanggal 1 Ramadhan versi Pemerintah, dan saya sendiri ketika itu sudah mengawali puasa satu hari sebelumnya, ikut madzhab hisab Muhammadiyah J. Di hari tersebut, MBL (MBK – Mbak Ika,MBL - Mbak Eli, MBV – Mbak Novi) sedang berada di RB. An-Nur karena sudah kontraksi dan menginap di tempat tersebut sejak siang hari untuk menyongsong kelahiran Arja Amareyn. Karena ada beberapa barang yang tertinggal dan perlengkapan melahirkan lain yang dibutuhkan saya pun yang awalnya sekedar menjaga rumah di Solo diminta untuk membawa perlengkapan tersebut dan mengantarkannya ke lokasi.

Lokasi RB. An-Nur sendiri terletak di Jalan Pakel, atau gang disamping Fave Hotel ke arah utara, dari situ rumah bersalin tersebut terletak di sebelah kiri. Dan Jalan Pakel sendiri merupakan batas antara tiga kabupaten; Sukoharjo/Solo, Karanganyar dan Boyolali, terkenal dengan Daerah Merah, alias daerah yang banyak terjadi kejadian kriminalitas, karena letaknya di perbatasan, terasa mudah untuk mengoper-oper barang bila terjadi razia oleh para polisi-polisi yang lemah dan tidak berdayaJ.

Saya tiba di tempat sekitar ba’da Isya’, saya memasuki ruang MBL beristirahat, di dalamnya sudah ada si kecil Kuwaisy Amareyn dan Mas Bims. Saya taruh beberapa perlengkapan yang diminta, setelah itu MBL meminta untuk membelikan makan malam, beliau lebih memilih nasi kucing ala angkringan ketimbang makanan berat lainnya, saya tidak membantah permintaan Bumil tersebut dan bergegas mencari angkringan.

Yang saya tuju adalah angkringan di perempatan Batas Kota, jalan Banyuanyar. Saya parkir MegaPro tersayang dan tertangguh, tanpa mengunci stang dan tutup magnet tetap terbuka, sekilas beberapa pemuda yang nongkrong di tempat tersebut saya lihat melirik ke arah sepeda saya. Dan bisa jadi momen itu adalah trigger bagi para pencuri yang menetapkan asumsi bahwa si pemilik motor pasti tidak menutup kunci magnetnya. Selesai keperluan saya menujur rumah bersalin an-Nur.

Si Mega saya parkir tepat di depan halaman yang sempit dan tepat di bibir gerbang. Saya masuk dan meninggalkan motor dalam posisi stang terkunci tapi tutup magnet masih terbuka. Hitungan detik dan meni pun berjalan. Saya perkirakan tidak lebih 10 menit saya keluar lagi dan mendapati Si Mega telah tiada, saya paham logo sayap motor honda sama sekali tidak membuatnya lantas terbang begitu saja. Secara feeling, saya masih bisa menguasai keadaan dengan tenang, awal kehilangan memang seperti itu, tapi 2-3 hari setelahnya barulah saya sadar motor saya benar-benar hilang J.

Setelah belasan menit saya ngalor-ngidul di sekitar gedung rumah bersalin Bidan Senior yang mempunyai RB tersebut mengajak saya untuk menemui seseorang yang ia kenal dengan baik. Beliau sempat bilang “Ayo mas tak jak, aku ndue kenalan karo wong sing biasa nangani ngeneki” (Ayo mas saya ajak ketemuan sama seseorang yang saya kenal dan sudah biasa dengan penanganan seperti ini). Saya mengiyakan ajakan tersebut, saya membatin mungkin keluarga dia ada yang bekerja sebagai kepolisian.

Saya bersama Ibu/Nenek tersebut menuju arah Fave Hotel, menyebrang jalan dan masuk gang sempit. Sepertinya tidak menuju kantor polisi, tidak pula menuju perumahan mewah yang mungkin dihuni oleh seorang polisi. Akhirnya kami sampai di pojokan gang sempit belakang Hotel Sunan. Ternyata yang dituju adalah rumah kecil dengan ruangan yang dindingnya terdapat poto seorang manusia tua dengan frame klasik tahun 60-70-an. Saya sampai di rumah seorang dukun.

Saya membatin ‘jancuk’. Terjadilah tanya jawab tentang nama, tanggal lahir dan hari lahir. Asem, jangkrik! Setelah berbasa-basi tentang Gusti Yang Maha Kuasa bla bla bla, si Dukun memberi saya 2 carik kertas yang telah ditulisi dengan kurva dan angka. Ia mengintruksikan agar kertas lipatan pertama ditaruh di tempat dimana saya memarkir motor, kertas kedua agar dimasukkan ke dalam gelas air minum, setelah itu airnya diminum sampai habis. Hehehe, asu!

Saya pun pulang ke RB an-Nur, masih mboncengin ibu tua yang telah menuntunku ke jalan kesyirikan. Sampai di RB saya masuk ke kamar dan sekilas bercerita kepada kakak saya yang notabene paham tentang siapa yang baru saja saya datangi. Si Ibu datang ke dalam kamar memberi 2 carik kertas dan gelas Aqua, setelah itu dia keluar lagi. Apa yang harus saya lakukan dengan kertas dan air dukun tadi? Dengan tanpa ragu saya membuangnya ke toilet. Sebodoh-bodohnya saya insyaAllah tidak akan pernah melakukan praktik syirik sedikit pun. Dan hal itu sangat konyol, mencari motor dengan acuan kertas dan kurva yang tidak jelas, jin dan setan tidak akan menemukan apapun kecuali dengan izin Sang Pemilik Segala.

Pagi hari saya menuju ke Polres Colomadu (bagian dari kabupaten Karanganyar), seperti biasa, polisi melakukan wawancara, setelah ditulis semua keterangan yang dibutuhkan polisi memberi surat keterangan kehilangan dan berjanji jika nanti ditemukan kami akan diberitahu oleh pihak kepolisian. Dari polisi tersebut saya mendapat keterangan bahwa pihak RB sebenarnya sudah pernah diberi intruksi untuk memperkerjakan satpam atau tukang parkir, atau paling tidak melengkapi area halaman yang sempit tersebut dengan CCTV, karena sebelumnya di tempat tersebut juga pernah terjadi pencurian motor yang sama. Para pencuri memang diuntungkan dengan letak RB yang dipinggir jalan ramai dan banyak gang, plus minimnya perangkat keamanan.


GoodBye MegaPro! Welcome Verza!


0 comments:

Post a Comment