Mukhoyam kali ini bertempat di Bumi Perkemahan
Pahlawasari, Delingan, Karanganyar. Tekstur tanahnya variatif; terdapat 2
lapangan datar yang biasa digunakan untuk kumpul, main rugby bahkan ring untuk
gulat. Ada juga yang bagian lembah menurun atau landai, di tanah landai
tersebut terdapat beberapa petak datar layaknya sawah terasering, di sanalah
para peserta kemah mendirikan tenda. Suasana Buper sangat gersang, karena area
kemah merupakan tegal yang minim vegetasi pohon lindung, ada beberapa pohon Jati
yang masih tertanam, tapi tetap tidak bisa mengurangi efek panas. Pohon lain
yang terlihat adalah Akasia, tapi yang kami lihat hanya reruntuhan daunnya
saja.
Mukhoyam kedua ini diikuti oleh kepanduan se-Karisedenan
Surakarta; Boyolali, Solo mendominasi, Sukoharjo, Karanganyar tuan rumah tapi
minim peserta, Klaten jauh tapi mendominasi. Dan Sragen mengadakan acara
sendiri. Total peserta keseluruhan ada 660 orang. Oleh panitia jumlah ini hanya
bisa dikalahkan mukhoyam Kedung Ombo yang diikuti oleh 830-an orang, tetapi
melibatkan kepanduan se-Jawa Tengah, sekaligus grade (baca: penderitaan) antara
2 mukhoyam ini berbeda jauh. Banyaknya peserta di mukhoyam membuat panitia
kualahan, akhirnya ada adagium “kalau ingin mukhoyam enak, maka datanglah
beramai-ramai”. Bahkan ada yang menceletuk, ayo kita buat grup di wa, fungsinya
untuk koordinasi pemerangkatan mukhoyam, kalau jumlah kita banyak panitia bakal
kualahan dan akhirnya acara2 mukhoyam tidak semenderita tantangan Korsad J”, temen-temen yang mendengar ide
itu tertawa sembari menyemangati diri yang tengah kepanasan.
Hari pertama adalah Jum’at sore hari, waktu
kedatangan rata-rata antara ashar hingga maghrib. Di senja hari menjelang sore
panitia mengintruksikan agar semua berkumpul di lapangan utama untuka
melaksanakan upacara seremonial pembukaan. Tidak ada yang boleh terlewat,
semuanya harus mengikuti acara wajib tersebut, bahkan yang sedang mendirikan
tenda pun diminta oleh panitia agar tetap kumpul. Dan benar, panitia yang
berteriak lantang sukses menggiring ratusan peserta yang mulai mendatangi
lapangan. Hanya beberapa gelintir yang tidak mengindahkan intruksi tersebut,
sangat bisa dihitung dengan jari, diantaranya adalah saya dengan Pak Daru J. Kami dengan sembunyi-sembunyi
tetap mendirikan tenda, dan akhirnya benar-benar sembunyi di dalam mobil saat
hujan mendera. Sedangkan teman-teman kami masih tetap eksis diguyur hujan di
lapangan J.
Setelah rentetan acara pembukaan, maghrib,
makan malam dan sholat isya, kami berkumpul untuk sesi materi pertama, temanya
tentang Nasionalisme dan Islam Indonesia. Audiens awalnya berdiri, tapi ketika
mendengar bunyi petasan ‘dor’, semua audiens serta merta telungkup di atas
tanah yang basah dan berlumpur, hal itu sesuai intruksi sore tadi. Hal itu
ditujukan sebagai simulasi kesiap-siagaan bagi seluruh anggota kepanduan.
Lucunya, Ust. Pemateri juga melanjutkan materinya sambil telungkup. Mantap.
Inti dari yang disampaikan adalah, Islam secara agama, komunitas, manhaj dan semangat,
merupakan pihak dan komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam pergerakan
nasional. Artinya, sangat naif kalau cara pandang kaum sekuler-nasionalis yang
mencoba menafikan peran Islam sebagai dapur pacu pergerakan dan usaha-usaha
kemerdekaan. Peran Islam bukan sekedar jargon ataupun fatwa, tapi benar-benar
mengokang bambu runcing.
Pesan penting lain yang beliau sampaikan adalah
distorsi tentang tokoh-tokoh pergerakan yang kebetulan mengambil jalan lain
dari dominasi Soekarno. Perlu dipahami bahwa orang-orang yang pernah berselisih
paham dengan Soekarno tidak semata-mata motif pemberontakan, harus dipahami
bahwa tidak ada asap bila tidak ada api. Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dan yang
lain harus dipahami bahwa gerakan-gerakan yang dipandang inkonstitusional
mempunyai akar masalah yang rumit dan kompleks. Di masa-masa seperti ini
pemersihan nama baik kepada mereka yang terkena dampak reduksi catatan sejarah
harus diupayakan agar pulih kembali dan bisa dibaca secara objektif.
Acara selesai dan kami pun siap untuk tidur.
Tetapi, bukan kepanduan kalau tidak gokil, sebelum bubar kami diintruksikan
agar berkumpul kembali di lapangan saat suara petasan menggelegar, estimasi
waktunya sekitar jam 2-3 malam. zzzZZZzz…., kami tidur dan bangun di waktu yang
dijanjikan. Petasan menggelegar dan latihan dalam respon kesigapan telah
dibuktikan, dalam hitungan menit semua pasukan berkumpul. Lagi-lagi untuk
dibully secara fisik, kami berguling, berlari mengelilingi lapangan, dan
peragaan fisik militer lainnya. Dan semua itu di atas tanah berair dan lumpur.
Keep up and survive.
Pagi hari kedua, buper kami yang minim vegetasi
pohon besar, memberi kesan kepada matahari agar seluruh sinar mentarinya
terbagi rata di semua tenda, 52 tenda yang berarti 52 kelompok dengan variasi
anggota per-tenda yang berbeda. Pagi hari hanya disapa sebentar oleh angin
sepoi, selanjutnya udara hangat yang perlahan menjadi terik.
Hari itu merupakan hari yang penuh dengan
rentetan acara; lomba memasak, lomba tali-temali, lomba baris-berbaris. Yang
bertugas memasak nasi goreng adalah Imam dan Syafi’, bukan karena kepiwaian
mereka dalam mengola bumbu menjadi cita rasa indonesia, hal itu lebih karena
satunya sakit kaki dan satunya bukan penggemar lomba-lomba seperti di atas J. Yang menarik saat itu bagi saya
adalah momen persiapan tali-temali, dimana saya justru mempelajarinya kembali
dari seorang teman. Di Gontor membuat pionering dengan bentuk apapun sangat
mudah karena di antara kami ada pasukan khusus yang saban harinya menekuni
tali-temali, di hari Kamis kita akan menemukan ratusan tongkat yang menjelma
menjadi objek-objek menarik; kuda terbang, transformer, mobil, pesawat atau
menara tiang bendera.
Lomba nasi goreng terhitung lancar, sekalipun
sejak awal dipastikan ga bakal bisa bersaing dengan 57 piring peserta lomba lainnya.
Baris-berbaris yang sangat simpel juga sudah kita tunaikan. Kami kembali ke
tenda guna persiapan solat dhuhur.
Sore hari adalah momen asik untuk outbond,
antaranya; kaki seribu, komuni-gaya, barongsai, tongkat ajaib dan gerak-estafet
(menggendong, koprol dan merangkak secara estafet). Di komunigaya kami mendapat
tebak kata berupa; SAMBER PETIR, PACUAN KUDA, DURIAN JATUH dan CEMBURU BUTA. Di antara 4
kata tersebut yang tergolong sukses adalah SAMBER PETIR, alhamdulillah peraga
awalnya adalah saya J. Untuk
lomba lainnya kami mengalami kegagalan, yang lumayan bisa bersaing adalah sesi
gerak-estafet, kami bisa finish lebih awal dari kelompok samping.
Masih di hari yang
sama, 52 kelompok dibagi menjadi 4 besar. 2 kelompok bermain rugby ala bar-bar,
2 kelompok lainnya beradu gulat di lapangan sebelah. Saya termasuk 2 kelompok
besar yang pertama kali memainkan rugby bar-bar. Saya katakan rugy barbar
karena peserta 2 kelompok masing-masing 150-an, 300 orang berebut bola, barbar.
Saya salut dengan beberapa temen yang berjibaku mencari dan melempar bola di
gawang lawan, saya sendiri alhamdulillah berhasil memegang, menjotos dan
melempar bola sebanyak 6-10 kali. Awalnya grup kami menang, setelah grup lawan
mengganti kipernya (Rasyid Meica, doinya Mbak Fera) yang notabene lebih tinggi,
grup kami kalah.
Setelah itu kami
bergantian dengan 2 grup besar lainnya, kami berpindah ke lapangan samping
untuk gulat. 2 grup dibagi menjadi berhadap-hadapan, setiap kelompok berhadapan
dengan kelompok lawan, dan saya urutan awal di kolom barisan. Dari jauh
kelompok lawan kami menunjukan tanda-tanda yang ga enak, ada 4 tronton parkir
di barisan mereka; orang-orang gendut. Dan benar saja, saya yang pertama kali
terjun menghadapi si gendut. Aturan simpelnya, tidak lebih dari 1 menit, tidak
boleh menendang, memukul, menjegal dll. Hanya boleh dorong2an, mengunci dan
membanting. Otomatis teknik silat, karate, taekwondo dan lainnya tidak bisa
dipraktekkan untuk menghadapi tronton di depanku. Sekian belas detik pertama
saya dan Si Tronton masih dorong-dorongan, hingga akhirnya saya jatuh tertimpa
tronton pula, selama menunggu peluit berbunyi saya pasang badan cakep, tidak
memberontak, tidak pula berusaha melepaskan kuncian. Kakiku yang masih bebas
bergerak justru saya posisikan ‘jegang’, terlentang santai. Gulat bukan Silat.
Rentetan acara
penyiksaan di hari itu akhirnya khatam di sore hari. Kami pun menjalani
rutinitas biasa sore hari, hingga malam tiba. Malam penutupan yang berisi
penampilan-penampilan dari beberapa kelompok, sebenarnya setiap kelompok sejak
awal diwajibkan mempersiapkan penampilan, apapun itu. Tapi karena yang hadir
600-an hanya beberapa kelompok yang show. Yang paling menjadi buah bibir adalah
senam/goyang/gerakan pinguin yang diperagakan oleh geng ar-Royyan J. Saya tidak tau detail acara malam itu, coz saya dan
Mr. D jaga malam di tenda, bobok cakep J.
Pagi hari seperti yang
dijadwalkan adalah long march, tracking sejauh 20-a km, tapi karena rombongan terlalu
cepat, kami pun menyusur 5-7 km lagi. Objek yang kami lewati rata-rata khas
sawah dan tegal, bukan hutan. Dan ternyata kami melewati pemakaman nan luas,
megah dan indah, lebih mirip taman. Ya, siapa lagi kalau bukan punya orang
cina, di sekelilingnya masih ada palang yang menunjukan bahwa kebun di
sekelilingnya masih dimiliki oleh pihak yang sama, cino. Untuk urusan long
march saya paling suka di rombongan depan, tapi sesekali saya melambat agar
bertemu dengan teman-teman setenda yang kocar-kacir di belakang. Yang unik
adalah ketika saya istirahat, seorang pemuda degan gaya rambut jambul menyapa
“Monggo Mas Kokam, saya duluan”. Dia tahu celana yang saya gunakan adalah
celana Kokam – Muhammadiyah J.
Tracking dimulai jam
08.00 dan rata-rata peserta kepanduan datang di jam 13.00 and so on. Kami
bergegas mengemasi barang ke mobil; Avanza Imam, City Daru dan Cery Amri. Semua
barang sudah kami kemas pagi hari sebelum tracking. 3 hari di kebun gersang
seperti itu, bersama ratusan teman-teman, tanpa ada gesekan-gesekan berarti
membuat kami tahu lebih banyak arti kebersamaan di waktu, tempat dan kondisi
apapun. Bahkan kami masih sempat tolong menolong; 2 mobil yang ringsek,
terjebak dalam lumpur terlihat mudah dientaskan oleh salah satu anggota geng
kami yang memang orang bengkel, tapi tahu persis karakter tanah dan bagaimana
mengatur laju mobil di tekstur sulit seperti itu. Sambil berkemas pulang, kami
say good bye kepada teman-teman yang kenal maupun tidak.
3 mobil kami awalnya
meluncur pulang secara bersamaan, tapi karena kami tidak mempunyai assemble
point akhirnya satu mobil meluncur sendiri langsung mengantar ke salah satu
kediaman teman kami. Sedangkan 2 mobilnya, termasuk saya di dalamnya, melaju
mulus ke arah pasar Kliwon, Bos Daru berkenan mentraktir, dan akhirnya rentetan
acara Mukhoyam di Buper Pahlawasari kami akhiri dengan mendem duren J.
0 comments:
Post a Comment