Tuesday, 21 April 2015


Mukhoyam kali ini bertempat di Bumi Perkemahan Pahlawasari, Delingan, Karanganyar. Tekstur tanahnya variatif; terdapat 2 lapangan datar yang biasa digunakan untuk kumpul, main rugby bahkan ring untuk gulat. Ada juga yang bagian lembah menurun atau landai, di tanah landai tersebut terdapat beberapa petak datar layaknya sawah terasering, di sanalah para peserta kemah mendirikan tenda. Suasana Buper sangat gersang, karena area kemah merupakan tegal yang minim vegetasi pohon lindung, ada beberapa pohon Jati yang masih tertanam, tapi tetap tidak bisa mengurangi efek panas. Pohon lain yang terlihat adalah Akasia, tapi yang kami lihat hanya reruntuhan daunnya saja.

Mukhoyam kedua ini diikuti oleh kepanduan se-Karisedenan Surakarta; Boyolali, Solo mendominasi, Sukoharjo, Karanganyar tuan rumah tapi minim peserta, Klaten jauh tapi mendominasi. Dan Sragen mengadakan acara sendiri. Total peserta keseluruhan ada 660 orang. Oleh panitia jumlah ini hanya bisa dikalahkan mukhoyam Kedung Ombo yang diikuti oleh 830-an orang, tetapi melibatkan kepanduan se-Jawa Tengah, sekaligus grade (baca: penderitaan) antara 2 mukhoyam ini berbeda jauh. Banyaknya peserta di mukhoyam membuat panitia kualahan, akhirnya ada adagium “kalau ingin mukhoyam enak, maka datanglah beramai-ramai”. Bahkan ada yang menceletuk, ayo kita buat grup di wa, fungsinya untuk koordinasi pemerangkatan mukhoyam, kalau jumlah kita banyak panitia bakal kualahan dan akhirnya acara2 mukhoyam tidak semenderita tantangan Korsad J”, temen-temen yang mendengar ide itu tertawa sembari menyemangati diri yang tengah kepanasan.

Hari pertama adalah Jum’at sore hari, waktu kedatangan rata-rata antara ashar hingga maghrib. Di senja hari menjelang sore panitia mengintruksikan agar semua berkumpul di lapangan utama untuka melaksanakan upacara seremonial pembukaan. Tidak ada yang boleh terlewat, semuanya harus mengikuti acara wajib tersebut, bahkan yang sedang mendirikan tenda pun diminta oleh panitia agar tetap kumpul. Dan benar, panitia yang berteriak lantang sukses menggiring ratusan peserta yang mulai mendatangi lapangan. Hanya beberapa gelintir yang tidak mengindahkan intruksi tersebut, sangat bisa dihitung dengan jari, diantaranya adalah saya dengan Pak Daru J. Kami dengan sembunyi-sembunyi tetap mendirikan tenda, dan akhirnya benar-benar sembunyi di dalam mobil saat hujan mendera. Sedangkan teman-teman kami masih tetap eksis diguyur hujan di lapangan J.

Setelah rentetan acara pembukaan, maghrib, makan malam dan sholat isya, kami berkumpul untuk sesi materi pertama, temanya tentang Nasionalisme dan Islam Indonesia. Audiens awalnya berdiri, tapi ketika mendengar bunyi petasan ‘dor’, semua audiens serta merta telungkup di atas tanah yang basah dan berlumpur, hal itu sesuai intruksi sore tadi. Hal itu ditujukan sebagai simulasi kesiap-siagaan bagi seluruh anggota kepanduan. Lucunya, Ust. Pemateri juga melanjutkan materinya sambil telungkup. Mantap. Inti dari yang disampaikan adalah, Islam secara agama, komunitas, manhaj dan semangat, merupakan pihak dan komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam pergerakan nasional. Artinya, sangat naif kalau cara pandang kaum sekuler-nasionalis yang mencoba menafikan peran Islam sebagai dapur pacu pergerakan dan usaha-usaha kemerdekaan. Peran Islam bukan sekedar jargon ataupun fatwa, tapi benar-benar mengokang bambu runcing.

Pesan penting lain yang beliau sampaikan adalah distorsi tentang tokoh-tokoh pergerakan yang kebetulan mengambil jalan lain dari dominasi Soekarno. Perlu dipahami bahwa orang-orang yang pernah berselisih paham dengan Soekarno tidak semata-mata motif pemberontakan, harus dipahami bahwa tidak ada asap bila tidak ada api. Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dan yang lain harus dipahami bahwa gerakan-gerakan yang dipandang inkonstitusional mempunyai akar masalah yang rumit dan kompleks. Di masa-masa seperti ini pemersihan nama baik kepada mereka yang terkena dampak reduksi catatan sejarah harus diupayakan agar pulih kembali dan bisa dibaca secara objektif.

Acara selesai dan kami pun siap untuk tidur. Tetapi, bukan kepanduan kalau tidak gokil, sebelum bubar kami diintruksikan agar berkumpul kembali di lapangan saat suara petasan menggelegar, estimasi waktunya sekitar jam 2-3 malam. zzzZZZzz…., kami tidur dan bangun di waktu yang dijanjikan. Petasan menggelegar dan latihan dalam respon kesigapan telah dibuktikan, dalam hitungan menit semua pasukan berkumpul. Lagi-lagi untuk dibully secara fisik, kami berguling, berlari mengelilingi lapangan, dan peragaan fisik militer lainnya. Dan semua itu di atas tanah berair dan lumpur. Keep up and survive.

Pagi hari kedua, buper kami yang minim vegetasi pohon besar, memberi kesan kepada matahari agar seluruh sinar mentarinya terbagi rata di semua tenda, 52 tenda yang berarti 52 kelompok dengan variasi anggota per-tenda yang berbeda. Pagi hari hanya disapa sebentar oleh angin sepoi, selanjutnya udara hangat yang perlahan menjadi terik.

Hari itu merupakan hari yang penuh dengan rentetan acara; lomba memasak, lomba tali-temali, lomba baris-berbaris. Yang bertugas memasak nasi goreng adalah Imam dan Syafi’, bukan karena kepiwaian mereka dalam mengola bumbu menjadi cita rasa indonesia, hal itu lebih karena satunya sakit kaki dan satunya bukan penggemar lomba-lomba seperti di atas J. Yang menarik saat itu bagi saya adalah momen persiapan tali-temali, dimana saya justru mempelajarinya kembali dari seorang teman. Di Gontor membuat pionering dengan bentuk apapun sangat mudah karena di antara kami ada pasukan khusus yang saban harinya menekuni tali-temali, di hari Kamis kita akan menemukan ratusan tongkat yang menjelma menjadi objek-objek menarik; kuda terbang, transformer, mobil, pesawat atau menara tiang bendera.

Lomba nasi goreng terhitung lancar, sekalipun sejak awal dipastikan ga bakal bisa bersaing dengan 57 piring peserta lomba lainnya. Baris-berbaris yang sangat simpel juga sudah kita tunaikan. Kami kembali ke tenda guna persiapan solat dhuhur.

Sore hari adalah momen asik untuk outbond, antaranya; kaki seribu, komuni-gaya, barongsai, tongkat ajaib dan gerak-estafet (menggendong, koprol dan merangkak secara estafet). Di komunigaya kami mendapat tebak kata berupa; SAMBER PETIR, PACUAN KUDA, DURIAN JATUH dan CEMBURU BUTA. Di antara 4 kata tersebut yang tergolong sukses adalah SAMBER PETIR, alhamdulillah peraga awalnya adalah saya J. Untuk lomba lainnya kami mengalami kegagalan, yang lumayan bisa bersaing adalah sesi gerak-estafet, kami bisa finish lebih awal dari kelompok samping.

Masih di hari yang sama, 52 kelompok dibagi menjadi 4 besar. 2 kelompok bermain rugby ala bar-bar, 2 kelompok lainnya beradu gulat di lapangan sebelah. Saya termasuk 2 kelompok besar yang pertama kali memainkan rugby bar-bar. Saya katakan rugy barbar karena peserta 2 kelompok masing-masing 150-an, 300 orang berebut bola, barbar. Saya salut dengan beberapa temen yang berjibaku mencari dan melempar bola di gawang lawan, saya sendiri alhamdulillah berhasil memegang, menjotos dan melempar bola sebanyak 6-10 kali. Awalnya grup kami menang, setelah grup lawan mengganti kipernya (Rasyid Meica, doinya Mbak Fera) yang notabene lebih tinggi, grup kami kalah.

Setelah itu kami bergantian dengan 2 grup besar lainnya, kami berpindah ke lapangan samping untuk gulat. 2 grup dibagi menjadi berhadap-hadapan, setiap kelompok berhadapan dengan kelompok lawan, dan saya urutan awal di kolom barisan. Dari jauh kelompok lawan kami menunjukan tanda-tanda yang ga enak, ada 4 tronton parkir di barisan mereka; orang-orang gendut. Dan benar saja, saya yang pertama kali terjun menghadapi si gendut. Aturan simpelnya, tidak lebih dari 1 menit, tidak boleh menendang, memukul, menjegal dll. Hanya boleh dorong2an, mengunci dan membanting. Otomatis teknik silat, karate, taekwondo dan lainnya tidak bisa dipraktekkan untuk menghadapi tronton di depanku. Sekian belas detik pertama saya dan Si Tronton masih dorong-dorongan, hingga akhirnya saya jatuh tertimpa tronton pula, selama menunggu peluit berbunyi saya pasang badan cakep, tidak memberontak, tidak pula berusaha melepaskan kuncian. Kakiku yang masih bebas bergerak justru saya posisikan ‘jegang’, terlentang santai. Gulat bukan Silat.

Rentetan acara penyiksaan di hari itu akhirnya khatam di sore hari. Kami pun menjalani rutinitas biasa sore hari, hingga malam tiba. Malam penutupan yang berisi penampilan-penampilan dari beberapa kelompok, sebenarnya setiap kelompok sejak awal diwajibkan mempersiapkan penampilan, apapun itu. Tapi karena yang hadir 600-an hanya beberapa kelompok yang show. Yang paling menjadi buah bibir adalah senam/goyang/gerakan pinguin yang diperagakan oleh geng ar-Royyan J. Saya tidak tau detail acara malam itu, coz saya dan Mr. D jaga malam di tenda, bobok cakep J.

Pagi hari seperti yang dijadwalkan adalah long march, tracking sejauh 20-a km, tapi karena rombongan terlalu cepat, kami pun menyusur 5-7 km lagi. Objek yang kami lewati rata-rata khas sawah dan tegal, bukan hutan. Dan ternyata kami melewati pemakaman nan luas, megah dan indah, lebih mirip taman. Ya, siapa lagi kalau bukan punya orang cina, di sekelilingnya masih ada palang yang menunjukan bahwa kebun di sekelilingnya masih dimiliki oleh pihak yang sama, cino. Untuk urusan long march saya paling suka di rombongan depan, tapi sesekali saya melambat agar bertemu dengan teman-teman setenda yang kocar-kacir di belakang. Yang unik adalah ketika saya istirahat, seorang pemuda degan gaya rambut jambul menyapa “Monggo Mas Kokam, saya duluan”. Dia tahu celana yang saya gunakan adalah celana Kokam – Muhammadiyah J.

Tracking dimulai jam 08.00 dan rata-rata peserta kepanduan datang di jam 13.00 and so on. Kami bergegas mengemasi barang ke mobil; Avanza Imam, City Daru dan Cery Amri. Semua barang sudah kami kemas pagi hari sebelum tracking. 3 hari di kebun gersang seperti itu, bersama ratusan teman-teman, tanpa ada gesekan-gesekan berarti membuat kami tahu lebih banyak arti kebersamaan di waktu, tempat dan kondisi apapun. Bahkan kami masih sempat tolong menolong; 2 mobil yang ringsek, terjebak dalam lumpur terlihat mudah dientaskan oleh salah satu anggota geng kami yang memang orang bengkel, tapi tahu persis karakter tanah dan bagaimana mengatur laju mobil di tekstur sulit seperti itu. Sambil berkemas pulang, kami say good bye kepada teman-teman yang kenal maupun tidak.

3 mobil kami awalnya meluncur pulang secara bersamaan, tapi karena kami tidak mempunyai assemble point akhirnya satu mobil meluncur sendiri langsung mengantar ke salah satu kediaman teman kami. Sedangkan 2 mobilnya, termasuk saya di dalamnya, melaju mulus ke arah pasar Kliwon, Bos Daru berkenan mentraktir, dan akhirnya rentetan acara Mukhoyam di Buper Pahlawasari kami akhiri dengan mendem duren J.




0 comments:

Post a Comment