Thursday, 19 November 2015

Suatu hari seorang teman mengirim poster berisi pengumuman menjadi staff ahli DPR RI dari sebuah partai Islam tertentu, u know laah J. Secara persyaratan umum, sepertinya saya masuk kualifikasi, misal jenjang strata satu, masih muda, kecakapan berbahasa, pengalaman organisasi dll. Pengalaman dan ilmu saya yang tidak seberapa itu tentunya masih kalah bila dibandingkan dengan peserta lain. Tetapi ada beberapa motivasi yang membuat saya yakin untuk mengikuti seleksi staff ahli tersebut.

Motif pertama saya adalah ingin belajar. Belajar menambah pengalaman berorganisasi, bagaimanapun juga pengalaman adalah guru terbaik, dan guru terbaik tidak akan pernah berhenti untuk menambah ilmu. Sebagai staff ahli, tentu dituntut untuk mengerti undang-undang, melek wacana plus analisa, haus akan berita dengan lintas sumber dll. Selain itu, dunia birokrasi adalah dunia yang selama ini saya pandang sebelah mata, dan banyak orang memandangnya dengan kepala terdongas ke atas lantaran tempatnya jauh dan sulit dijangkau oleh awam.

Selanjutnya saya juga termotivasi untuk belajar dunia tatanegara. Mengulang dan mengembangkan maklumat lama pelajaran Tata Negara di pondok dulu. Pondok yang biasanya hanya mengajarkan mata pelajaran agama, kalaupun diluaskan hanya ditambah IPA, maka sejak dulu kami sudah diajari geografi, psikologi, sosiologi dan Tata Negara. Cita-cita yang sangat luhur untuk membentuk insan yang integral terhadap dimensi kehidupan berbangsa, bermasyarakat sekaligus beragama.

Motif kedua saya adalah mencoba dan berusaha untuk berperan. Terlihat sedikit songong memang, ibarat meme di dunia maya ‘aku mah apah atuh’, dengan segala keterbatasan yang ada saya mencoba untuk mengeksplorasi sekaligus mendeteksi potensi saya pribadi untuk kepentingan orang lain. Menegaskan kembali kepada fitrah manusia untuk berkhidmah bagi orang lain, untuk menjadi sosok khairunnasi anfa’uhum lin nas versi birokrasi di gedung senayan.

Kemudian terbersitkah motif materi alias gaji yang lebih besar? Bahwa wajar untuk mencari nafkah yang halal dengan nominal berapapun, tapi sepertinya saya pernah bekerja dengan pendapatan 2-3 kali lipat dibanding staff ahli. Artinya, pendapatan seseorang ketika bekerja memang layak untuk diperhitungkan tapi tidak lantas menjadi target utama memilih sebuah pekerjaan.

Setelah itu semua, saya pun memutuskan untuk mengirim berkas-berkas yang diperlukan. Berkas pendidikan seprti ijazah, keterangan pribadi seperti akte kelahiran, ktp, poto pribadi dan lain-lain. Selang beberapa hari, hasil dari seleksi administrasi tersebut diumumkan, dari 1.200-an pendaftar (kata mbak resepsionisnya) alhamdulillah nama saya masuk di dalam 600 orang yang kali ini bejo.

Setelah seleksi administrasi adalah ujian Tes Potensi Akademik (TPA) dan tes psikologi. Tes potensi akademik biasanya berisi tentang nalar berbahasa, hitung-hitungan matematika, nalar berlogika dan logika ruang dan bangunan. Untuk definisi dan lebih detailnya silahkan dirujuk di google J. Sedangkan tes psikologi berisi tentang pertanyaan-pertanyaan kecenderungan terhadap sesuatu, mentalitas, penyikapan terhadap masalah dll.

Saat ujian psikologi itulah saya mendapat  pengalaman psikologis yang menarik. Saya memang orang yang minimalis, perlengkapan alat tulis ya hanya pena dan pensil, sedangkan tipex atau penghapus saya tidak punya, karena tidak termasuk alat tulis, bahkan ia menghapus tulisan, hehe. Intinya saya sadar saya kurang persiapan, suatu ketika saya butuh penghapus untuk merevisi jawaban. Saya pun bermaksud meminjam seorang ibu-ibu (35-40 tahun) di depan saya, posisi saya menghadap ke depan, dan beliau menghadap ke samping. Bla bla bla… intinya yang bersangkutan (ybs) enggan, bahkan sampai 3 kali saya meminta izin untuk pinjam, sekalipun akhirnya ybs meminjamkan, tapi raut muka dan cara bicaranya mempunyai kesan yatba’uha adza. Sangat kontras dengan sesi ujian psikologi yang lebih dituntut untuk berlapang hati. Gampangnya, orang jawa bilang ‘njileh setip wae ndadak diwejangi’.

Setelah dua minggu akhirnya pengumuman muncul di website resmi partai terkait. Dan alhamdulilah dari 600 peserta diambil sekitar 300-an orang, saya masuk di dalamnya. Di laman web tersebut diinformasikan bahwa ujian seleksi selanjutnya adalah ujian bahasa dan bidang peminatan. Sesi pertama adalah tes kecakapan bahasa; formatnya menerjemahkan berita dan mengarang dengan tema tertentu, saat itu saya memilih menggunakan bahasa Arab. Dengan modal pernah nyantri plus pernah dihukum buat insya 10 halaman, dan kecenderungan suka tulis menulis, untuk ujian kecakapan bahasa tidak terlalu banyak kendala. Sekalipun hasilnya hanya Allah dan panitia yang mengetahuinya J.

Sedangkan untuk ujian bidang peminatan, sebenarnya saya mempunyai opsi hubungan internasional dan humaniora. Karena sejak awal tidak ada pemberitahuan tentang mana yang dipilih diantara bidang peminatan tersebut, akhirnya saya sama sekali tidak mempunyai persiapan. Soal pun dibagikan ke peserta, bentuk pertanyaannya adalah esai. Dari 7 pertanyaan, disuruh menjawab 5, dan semuanya serba mambu undang-undang dan istilah ketatanegaraan. ‘Di situ kadang saya merasa sedih dan ngelu’.

Pengumuman yang dinantikan pun datang, informasi kelulusan termuat di laman resmi fraksi terkait di internet. Dan saya gagal, belum mendapat kesempatan ‘menduduki’ gedung senayan, gedung unik yang pernah saya lihat di stasiun tv jadul, tahun 1998, gedung dengan desain eksterior berbentuk buku.

Dan alhamdulillah, sebuah pengalaman sudah pernah saya rasakan. Bertemu dengan orang-orang top yang benar-benar bertampang staff ahli, berbeda dengan saya atau kami (bersama 4 orang seangkatan lulusan al-Azhar, yang kesemuanya tidak saya jumpai sejak seleksi pertama). Tampang yang masih seperti anak kemarin sore, berkompetisi dengan orang-orang yang memang sudah pada ahlinya; mantan DPRD, magister dan doktor, hal itu terlihat di presensi yang mencantumkan nama beserta gelar mereka masing-masing. Dan memang, tempat staff ahli lebih berhak diamanahkan kepada mereka. Mabruk alaikum J.

Pengalaman lain terkait seleksi staff ahli adalah nyasar di terminal busway, yang saya tuju adalah Senayan dekat gedung DPR MPR RI tetapi saya turun di Bundaran Senayan, saya pun berjalan 1 km lebih setelah balik arah dan turun di halte dekat Polda, sesampainya di gedung langsung masuk ruangan, dengan wajah berkeringat langung mengerjakan soal. Dan itu semua justru memperkuat skill saya untuk mobile dengan transportasi apapun; bus, kereta maupun angkot.

Apa yang menarik dari staff ahli? Selain motif yang saya sampaikan tadi, staff ahli sejatinya adalah  pembisik alam sadar atau bawah sadar para anggota DPR kita yang terhormat, dari partai yang kita segani dan kita doakan untuk selalu menempuh jalan dakwah yang benar.

Tuh, kenapa panjang lagi… sesekali saya harus mempunyai tulisan cerita yang singkat-singkat saja L.



1 comments:

  1. Aslm Mas Amin, tolong ping watsapp ya, nomor pada bubar krn mesin rusak. Suwun mas

    ReplyDelete