Suatu hari seorang teman mengirim poster berisi
pengumuman menjadi staff ahli DPR RI dari sebuah partai Islam tertentu, u
know laah J. Secara
persyaratan umum, sepertinya saya masuk kualifikasi, misal jenjang strata satu,
masih muda, kecakapan berbahasa, pengalaman organisasi dll. Pengalaman dan ilmu
saya yang tidak seberapa itu tentunya masih kalah bila dibandingkan dengan
peserta lain. Tetapi ada beberapa motivasi yang membuat saya yakin untuk
mengikuti seleksi staff ahli tersebut.
Motif pertama saya adalah ingin belajar.
Belajar menambah pengalaman berorganisasi, bagaimanapun juga pengalaman adalah
guru terbaik, dan guru terbaik tidak akan pernah berhenti untuk menambah ilmu.
Sebagai staff ahli, tentu dituntut untuk mengerti undang-undang, melek wacana plus
analisa, haus akan berita dengan lintas sumber dll. Selain itu, dunia birokrasi
adalah dunia yang selama ini saya pandang sebelah mata, dan banyak orang
memandangnya dengan kepala terdongas ke atas lantaran tempatnya jauh dan sulit
dijangkau oleh awam.
Selanjutnya saya juga termotivasi untuk belajar
dunia tatanegara. Mengulang dan mengembangkan maklumat lama pelajaran Tata
Negara di pondok dulu. Pondok yang biasanya hanya mengajarkan mata pelajaran
agama, kalaupun diluaskan hanya ditambah IPA, maka sejak dulu kami sudah
diajari geografi, psikologi, sosiologi dan Tata Negara. Cita-cita yang sangat
luhur untuk membentuk insan yang integral terhadap dimensi kehidupan berbangsa,
bermasyarakat sekaligus beragama.
Motif kedua saya adalah mencoba dan berusaha
untuk berperan. Terlihat sedikit songong memang, ibarat meme di dunia
maya ‘aku mah apah atuh’, dengan segala keterbatasan yang ada saya
mencoba untuk mengeksplorasi sekaligus mendeteksi potensi saya pribadi untuk
kepentingan orang lain. Menegaskan kembali kepada fitrah manusia untuk
berkhidmah bagi orang lain, untuk menjadi sosok khairunnasi anfa’uhum lin
nas versi birokrasi di gedung senayan.
Kemudian terbersitkah motif materi alias gaji
yang lebih besar? Bahwa wajar untuk mencari nafkah yang halal dengan nominal
berapapun, tapi sepertinya saya pernah bekerja dengan pendapatan 2-3 kali lipat
dibanding staff ahli. Artinya, pendapatan seseorang ketika bekerja memang layak
untuk diperhitungkan tapi tidak lantas menjadi target utama memilih sebuah
pekerjaan.
Setelah itu semua, saya pun memutuskan untuk
mengirim berkas-berkas yang diperlukan. Berkas pendidikan seprti ijazah,
keterangan pribadi seperti akte kelahiran, ktp, poto pribadi dan lain-lain.
Selang beberapa hari, hasil dari seleksi administrasi tersebut diumumkan, dari
1.200-an pendaftar (kata mbak resepsionisnya) alhamdulillah nama saya masuk di
dalam 600 orang yang kali ini bejo.
Setelah seleksi administrasi adalah ujian Tes
Potensi Akademik (TPA) dan tes psikologi. Tes potensi akademik biasanya berisi
tentang nalar berbahasa, hitung-hitungan matematika, nalar berlogika dan logika
ruang dan bangunan. Untuk definisi dan lebih detailnya silahkan dirujuk di
google J.
Sedangkan tes psikologi berisi tentang pertanyaan-pertanyaan kecenderungan
terhadap sesuatu, mentalitas, penyikapan terhadap masalah dll.
Saat ujian psikologi itulah saya mendapat pengalaman psikologis yang menarik. Saya
memang orang yang minimalis, perlengkapan alat tulis ya hanya pena dan pensil,
sedangkan tipex atau penghapus saya tidak punya, karena tidak termasuk alat
tulis, bahkan ia menghapus tulisan, hehe. Intinya saya sadar saya kurang
persiapan, suatu ketika saya butuh penghapus untuk merevisi jawaban. Saya pun
bermaksud meminjam seorang ibu-ibu (35-40 tahun) di depan saya, posisi saya
menghadap ke depan, dan beliau menghadap ke samping. Bla bla bla… intinya yang
bersangkutan (ybs) enggan, bahkan sampai 3 kali saya meminta izin untuk pinjam,
sekalipun akhirnya ybs meminjamkan, tapi raut muka dan cara bicaranya mempunyai
kesan yatba’uha adza. Sangat kontras dengan sesi ujian psikologi yang
lebih dituntut untuk berlapang hati. Gampangnya, orang jawa bilang ‘njileh
setip wae ndadak diwejangi’.
Setelah dua minggu akhirnya pengumuman muncul
di website resmi partai terkait. Dan alhamdulilah dari 600 peserta diambil
sekitar 300-an orang, saya masuk di dalamnya. Di laman web tersebut
diinformasikan bahwa ujian seleksi selanjutnya adalah ujian bahasa dan bidang
peminatan. Sesi pertama adalah tes kecakapan bahasa; formatnya menerjemahkan
berita dan mengarang dengan tema tertentu, saat itu saya memilih menggunakan
bahasa Arab. Dengan modal pernah nyantri plus pernah dihukum buat insya 10
halaman, dan kecenderungan suka tulis menulis, untuk ujian kecakapan bahasa
tidak terlalu banyak kendala. Sekalipun hasilnya hanya Allah dan panitia yang
mengetahuinya J.
Sedangkan untuk ujian bidang peminatan,
sebenarnya saya mempunyai opsi hubungan internasional dan humaniora. Karena
sejak awal tidak ada pemberitahuan tentang mana yang dipilih diantara bidang
peminatan tersebut, akhirnya saya sama sekali tidak mempunyai persiapan. Soal
pun dibagikan ke peserta, bentuk pertanyaannya adalah esai. Dari 7 pertanyaan,
disuruh menjawab 5, dan semuanya serba mambu undang-undang dan istilah
ketatanegaraan. ‘Di situ kadang saya merasa sedih dan ngelu’.
Pengumuman yang dinantikan pun datang,
informasi kelulusan termuat di laman resmi fraksi terkait di internet. Dan saya
gagal, belum mendapat kesempatan ‘menduduki’ gedung senayan, gedung unik yang
pernah saya lihat di stasiun tv jadul, tahun 1998, gedung dengan desain
eksterior berbentuk buku.
Dan alhamdulillah, sebuah pengalaman sudah
pernah saya rasakan. Bertemu dengan orang-orang top yang benar-benar bertampang
staff ahli, berbeda dengan saya atau kami (bersama 4 orang seangkatan lulusan
al-Azhar, yang kesemuanya tidak saya jumpai sejak seleksi pertama). Tampang
yang masih seperti anak kemarin sore, berkompetisi dengan orang-orang yang
memang sudah pada ahlinya; mantan DPRD, magister dan doktor, hal itu terlihat
di presensi yang mencantumkan nama beserta gelar mereka masing-masing. Dan
memang, tempat staff ahli lebih berhak diamanahkan kepada mereka. Mabruk
alaikum J.
Pengalaman lain terkait seleksi staff ahli
adalah nyasar di terminal busway, yang saya tuju adalah Senayan dekat gedung
DPR MPR RI tetapi saya turun di Bundaran Senayan, saya pun berjalan 1 km lebih
setelah balik arah dan turun di halte dekat Polda, sesampainya di gedung
langsung masuk ruangan, dengan wajah berkeringat langung mengerjakan soal. Dan
itu semua justru memperkuat skill saya untuk mobile dengan transportasi
apapun; bus, kereta maupun angkot.
Apa yang menarik dari staff ahli? Selain motif
yang saya sampaikan tadi, staff ahli sejatinya adalah pembisik alam sadar atau bawah sadar para
anggota DPR kita yang terhormat, dari partai yang kita segani dan kita doakan
untuk selalu menempuh jalan dakwah yang benar.
Tuh, kenapa panjang lagi… sesekali saya harus
mempunyai tulisan cerita yang singkat-singkat saja L.
Aslm Mas Amin, tolong ping watsapp ya, nomor pada bubar krn mesin rusak. Suwun mas
ReplyDelete