Monday, 31 March 2008

Rating:
Category:Books
Genre: Professional & Technical
Author:Quraish Syihab
Kilas Balik:
Sepekan yang lalu ada pertemuan di Shoah Kaamil, aula pertemuan di Kulliyyah Thib. Dtang sebagai pembicara Pakde Quraish Syihab, dalam acara itu beliau didaulat sebagai seorang alumni Azhar yang diminta berbagi tausiyah. Tengah April nanti sebenarnya juga akan diadakan lokakarya bagi Masisir.

Ketika sesi audience sebenarnya diriku ingin bertanya tapi, dah keduluan sama temen2. Syukurlah ketika beliau menjawab ada sebagian pertanyaan yang aslinya ingin kutanyakan namun sudah diberi gamaran oleh beliau.
Tentang buku *Logika Agama*, buku yang ketika kelulusan kelas 6 2006 aku jadikan rujukan utama dalam pemenuhan syarat kelulusan yang harus membuat paper berbahasa Arab/ Inggris. Ada kebanggan ketika menyimak paparan beliau, tentang pembuatan buku yang hanya berasal dari dialog2 ringan antara murid dan Mahagurunya, hingga alat transportasi menjadi ajang yang ideal untuk menuntut ilmu karene beliau dan mahagurunya biasa jalan bareng di tempat itu.

Aku kembali teringat dihalaman depan cetak buku itu, masih jelas tulisan2 arab beliau, ketika merenungi itu seakan ada kenangan tersendiri untuk membandingkan tulisannya dengan tulisanku, khot beliau ga jauh beda dengan khotku, agak2 gimana.......................gitu.

Tahun 63-an beliau menulis catatan2 tersebut, dan tahun 2006 buku itu terbit, sebuah penjagaan ilmu yang patut untuk kita apresiasi, penyesalan kembali terbayang ketika aku kehilangan 1 kotak koleksi buku di pondok dulu, sebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeel, sedih, gondokkkk jekkkkk........ada banyak buku bacaan, buku diktat pelajaran, catatan2-diary, sertifikat2, dan kumpulan2 nilai dari kelas 1 hingga kelas 6, mana kelasnya dulu favorit lagi, any way.........al'ilmu fissuduur laa fissutuuur.

Mahaguru beliau yang diabadikan menjadi nama tempat temen2ku ngekos => Abbas Mahmud al-Aqad, kondektur bis/ tramco bilang "abbas saad" karena huruf qaf mereka baca "a". sedang mahaguru satu lagi yang andil dalam peluncuran karya beliau adalah Abdul Halim Mahmud................
Nahhh ini dia referensinya:

Kilas Konkrit:

Judul : LOGIKA AGAMA; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam
Penerbit : Lentera Hati & Pusat Studi al-Quran
Tahun : 2005

Judul buku ini mengingatkan kita pada sebuah hadis – lepas dari perebatan tentang kualitasnya -- yang memuat relasi agama dan akal, “Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber-) agama siapa yang tidak memiliki akal”. Sebagian ajaran agama memang dapat dimengerti oleh akal, tapi tidak sedikit yang masih menyimpan misteri kalau kita pikirkan. Para ulama klasik biasanya membagi ajaran agama menjadi dua; pertama dapat dimengerti oleh akal (amrun ta’aqquli) dan kedua sangat sulit –untuk tidak mengatakannya mustahil-- diterima oleh akal kita (amru ta’abbudi), harus diyakini thus diamalkan saja.

M. Quraish Shihab yang ‘berdialog’ dengan ‘Maha Guru’-nya, dalam buku ini, menyinggung persoalan itu ketika membahas term ‘Islam Berkembang’ (h. 28). Diskusinya mencoba mendudukkan Islam secara proporsional ketika berhadapan dengan perubahan sosial. Kata berkembang (mutathawwir) bermaknakan Islam bisa diterapkan di semua waktu dan tempat. Namun, harus tetap diingat bahwa perubahan itu terbatas pada penafsiran yang kemudian melahirkan ragam ilmu pengetahuan, bukan pada teks keagamaan sebagai dasar agama itu sendiri.

Agama dan akal berusaha dijernikan dengan mendefinisikan akal dahulu. Akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan (h. 88). Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal.

Ketegangan akal dan wahyu terjadi karena ‘kurang memahami’ otoritas wahyu. Seseorang yang berpijak pada wahyu lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya berbeda dengan seseorang yang berpijak dengan akalnya lalu menggunakannya untuk memahami wahyu (h. 97). Yang pertama menjadikan wahyu sebagai pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkah wahyu kepada akalnya (Ibid). Yang pertama adalah sikap menyerahkan diri kepada wahyu, sedangkan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal yang pada gilirannya melahirkan ta’wîl yang sesuai selera akal walau bukan pada tempatnya.

Implikasi teologis dari posisi akal atas wahyu ini adalah berserah diri atas segala ketentun Allah SWT (taqdîr). Hanya saja, tidak sepadan dengan apa yang didengungkan oleh paham jabariyyah (fatalistik) yang cendrung menerima apa adanya. Tidak pula sama dengan paham qadariyyah (free will) yang menempatkan peran manusia dalam kehiduapan di atas segala-galanya. Manusia itu mampu berpindah dari satu taqdir Tuhan kepada taqdir Tuhan lain yang lebih lebih baik, dengan tetap diiringi berserah diri atas ketentuan-Nya.

Setelah itu, kita diajak untuk menempuh ‘jalur pencerahan batin’ menuju wujud rohani manusia yang kerap dilupakan oleh setiap orang. Dengan berusaha menyisihkan waktu sebentar dengan merenung, akan mendapat bisikan hati yang terdalam, mengenal kebenaran mutlak yang dirindukan rohani itu. Ia adalah pengabdian karena cinta kepada-Nya, sesama manusia, lingkungan dan dirinya sendiri.

Caranya dengan menempuh jalur irâdah yaitu kehendak/tekad yang meminta afirmasi kepada setiap individu atas apa yang ingin dilakukan, sehingga dapat menghasilkan kemampuan. Kemampuan itu perlu diusahakan terus menerus dengan jalan latihan-latihan (riyâdah). Dalam al-Quran padanan riyâdah itu adalah mujâhadah yang seakar dengan jihâd. Mujâhadah adalah menggunakan seluruh kemampuan secara bersungguh-sungguh untuk melawan musuh, terutama yang terdekat dalam diri manusia, yaitu nafsunya yang mendorong kepada kerendahan dan keburukan (h. 162).

Adapun penentuan mursyid atau guru spiritual dalam tradisi tasauf karena representasi ilmu dan ma’rifah bagi orang yang akan menempuh ‘jalur pencerahan batin’ tersebut. Relasi wali dan kekeramatan yang hadir dalam persepsi banyak orang belum tentu benar. Karena seorang wali tidak mutlak memiliki kekeramatan dan sebaliknya siapa pun yang memiliki kekuatan magis belum tentu wali dan tidak juga karena ketakwaannya (h. 201).

Buku ini menyuguhkan persoalan agama dan akal yang terbilang rumit itu dengan tutur fragmental yang membuat nyaman setiap orang yang membacanya. Analisis persoalan dimulai dengan presentasi definisi menurut; bahasa, istilah, dan ragam penafsiran yang hadir dari ulama-ulama ternama timur tengah.
Ditulis oleh Muhtar Sadili, Bagian Perpustakaan PSQ.

6 comments:

  1. DARI PADA CAPEK BACA MENDING BELI AJA...............:D

    ReplyDelete
  2. Mau-mau, Insya Allah nanti kalo dah punya lebih cape lagi membaca, lebih tebal kan?

    ^_^

    TFS

    ReplyDelete
  3. just want answer it....=>>> Yes...! :D

    ReplyDelete
  4. moga aja sampean BENER MAU BELI BUKUNYA.......:D

    ReplyDelete
  5. Oh ngono tho..
    Kalau belinya mungkin gampang (kalau ada uang he he he), namun bacanya yang sulit..
    Maklum bukan kutu buku...
    Sesok nek mulih tak lihat di perpus pribadi kaka iparku ada ngga...
    Thank's yo

    ReplyDelete