Friday, 9 November 2012


Berawal dari ketika saya duduk di kelas 5 KMI, seorang guru Mushtholahul Hadits di sela waktu mengajarnya beliau menyampaikan intermezo yang kali itu berkenaan dengan negara 1000 menara, Mesir. Sebagai lulusan al-Azhar beliau tahu benar tentang apa yang menjadi hal mencolok dari negara tersebut. Dengan nada intermezo, beliau berkata bahwa ketika ada 6 orang perempuan mesir berjalan, maka yang cantik menjadi 12 orang, dengan maksud masing-masing perempuan tersebut mewakili 2 kecantikan, bahkan sekedar dengan bayangan mereka J.

Saya pun ditakdirkan ke Mesir, 4 Desember 2007 mendarat di Alexandria. Intermezo yang disampaikan 2 tahun sebelumnya masih terngiang, dan di tempat di mana beliau pernah berada saya pun kini juga menempatinya. Dan tidak bisa tidak, bayang-bayang Cleopatra post-modern saat itu sangat kuat menaungi pemandangan sehari-hari; pasar, jalanan, kampus, kantor-kantor, iklan dll.

Hidung mancung, kulit putih tulang, tinggi semampai, terhijab dengan kerudung lebar (bagi yang berpakaian syar’I tentunya), kecantikan itu berbalut dengan keindahan dan keanggunan, bukan seksi. Premise awal saya katakan “Ya, perempuan Mesir cantik-cantik, tidak berlebihan intermezo sang guru dulu”.
Namun naluri keadilanku menggugat, ah, kalau seandainya Allah Maha Adil kenapa dia harus menakar kecantikan perempuan Mesir melebihan takaran kecantikan bangsaku, Indonesia. Maka nalar sosialku mencari alasan penguat untuk saya gunakan dan melawan premise awal tadi.

Lampu Thomas Alfa Edison muncul di atas ubun-ubunku, dengan bangga aku menggebu-gebu serta menyimpulkan; semua itu diawali dari skala pendudukan Mesir yang sangat padat, bayangkan bila satu Hayy saja sudah mewakili ratusan dan bahkan ribuan KK, beberapa ratus meter persegi saja terbangun beberapa apartemen yang sangat padat, terlebih model perumahan mereka berbentuk rumah susun. Berbeda dengan Indonesia yang jarak antar rumah dengan lainnya sangat berjauhan dan hanya dihuni beberapa KK saja.

Dari observasi di atas, sementara waktu saya simpulkan bahwa image perempuan Mesir cantik bukanlah berasal dari kecantikan itu sendiri, tapi lebih karena kondisi kependudukan mereka yang padat, sehingga di beberapa lokal saja kita sudah menjumpai sekian puluh hingga ratusan perempuan dan, kebetulan banyak cantiknya juga. Jadi image tadi lebih karena persoalan kwantitas perempuan yang dilihat bukan kwantitas kecantikan itu sendiri. Aku pun merasa aman dengan kesimpulanku sendiri, ya, aku tersenyum dalam kesendirian, tidak mengapa dikata gila, yang penting aku menyimpan alasannya.

“Perempuan Mesir biasa saja. Tidak jauh beda dengan kecantikan putri-putri Indonesia”.

Waktu berjalan, hari, pekan, bulan dan tahun. Ada perasaan menggugat dari dalam, apa ia kesimpulan yang sementara waktu itu benar-benar menjadi justifikasi asas keadilan Tuhan. Lebih dari itu, kalau dipikir-pikir apakah bisa hidung mancung Arab disamakan dengan bangirnya putri jawi, tingginya yang semampai, sudut-sudut tajam dari mata, pipi, dagu dan lainnya. Ah, rasanya masih terlalu egois kalau aku memandangnya sebelah mata, jangan-jangan emosi tingkat tinggi yang membutakan rasa manja sirna dari kecantikan mereka. Aku pun mengulang pandangan, mempertajam fokus retina, mencoba menggerakkan sel otak manja dan menerima keunggulan Cleopatra-cleopatra pasca dinasti Fir’aun yang telah lama berjaya.

Akhirnya, harus ada jalan tengah yang menjembatani antara takaran cantik cleopatra dan cantiknya putri-putri tanah Jawa (yang Betawi, Sunda, Padang dkk jangan cemberut ya). Kalam akhir yang aku coba untuk bijak dalam menyimpulkannya berakhir seperti ini; Jadi, kecantikan perempuan Mesir lumrah untuk tetap diakui dan diunggulkan dari bangsa kita, akan tetapi kita harus ingat bahwa kecantikan mereka berbanding lurus dengan kondisi tanah gersang dan kepenatan penduduk, sifat keras dalam bertingkah laku, bersuara dan lain sebagainya. Sedangkan Indonesia, kita tetap harus bersyukur bahwa kecantikan gadis bangsa (yang ala kadarnya -?-) juga berbanding lurus dengan keindahan alamnya, kelembutan suaranya, keuletan kerjanya dan, paling tidak mereka tidak akan pernah menghardikku dengan kata Ya Hayawaan di tengah jalan, seperti yang aku rasakan di bilangan Rabea Adawea J.

Dan aku pun kalah dengan premis-ku sendiri.

3 comments:

  1. Ga usah jauh2, di Banjarmasin juga banyak cewek cakep :D

    ReplyDelete
  2. Kalau tuisan ini Antum share di Facebook, pasti banyak akhwat yang ngelike karena baca paragraf terakhirnya. ^_^

    ReplyDelete