Berawal dari
ketika saya duduk di kelas 5 KMI, seorang guru Mushtholahul Hadits di sela
waktu mengajarnya beliau menyampaikan intermezo yang kali itu berkenaan dengan
negara 1000 menara, Mesir. Sebagai lulusan al-Azhar beliau tahu benar tentang
apa yang menjadi hal mencolok dari negara tersebut. Dengan nada intermezo,
beliau berkata bahwa ketika ada 6 orang perempuan mesir berjalan, maka yang
cantik menjadi 12 orang, dengan maksud masing-masing perempuan tersebut
mewakili 2 kecantikan, bahkan sekedar dengan bayangan mereka J.
Saya pun ditakdirkan
ke Mesir, 4 Desember 2007 mendarat di Alexandria. Intermezo yang disampaikan 2
tahun sebelumnya masih terngiang, dan di tempat di mana beliau pernah berada
saya pun kini juga menempatinya. Dan tidak bisa tidak, bayang-bayang Cleopatra
post-modern saat itu sangat kuat menaungi pemandangan sehari-hari; pasar,
jalanan, kampus, kantor-kantor, iklan dll.
Hidung mancung,
kulit putih tulang, tinggi semampai, terhijab dengan kerudung lebar (bagi yang
berpakaian syar’I tentunya), kecantikan itu berbalut dengan keindahan dan
keanggunan, bukan seksi. Premise awal saya katakan “Ya, perempuan Mesir
cantik-cantik, tidak berlebihan intermezo sang guru dulu”.
Namun naluri
keadilanku menggugat, ah, kalau seandainya Allah Maha Adil kenapa dia harus
menakar kecantikan perempuan Mesir melebihan takaran kecantikan bangsaku,
Indonesia. Maka nalar sosialku mencari alasan penguat untuk saya gunakan dan
melawan premise awal tadi.
Lampu
Thomas Alfa Edison muncul di atas ubun-ubunku, dengan bangga aku menggebu-gebu
serta menyimpulkan; semua itu diawali dari skala pendudukan Mesir yang sangat
padat, bayangkan bila satu Hayy saja sudah mewakili ratusan dan bahkan ribuan
KK, beberapa ratus meter persegi saja terbangun beberapa apartemen yang sangat
padat, terlebih model perumahan mereka berbentuk rumah susun. Berbeda dengan
Indonesia yang jarak antar rumah dengan lainnya sangat berjauhan dan hanya
dihuni beberapa KK saja.
Dari
observasi di atas, sementara waktu saya simpulkan bahwa image perempuan Mesir
cantik bukanlah berasal dari kecantikan itu sendiri, tapi lebih karena kondisi
kependudukan mereka yang padat, sehingga di beberapa lokal saja kita sudah
menjumpai sekian puluh hingga ratusan perempuan dan, kebetulan banyak cantiknya
juga. Jadi image tadi lebih karena persoalan kwantitas perempuan yang dilihat
bukan kwantitas kecantikan itu sendiri. Aku pun merasa aman dengan kesimpulanku
sendiri, ya, aku tersenyum dalam kesendirian, tidak mengapa dikata gila, yang
penting aku menyimpan alasannya.
“Perempuan Mesir
biasa saja. Tidak jauh beda dengan kecantikan putri-putri Indonesia”.
Waktu berjalan,
hari, pekan, bulan dan tahun. Ada perasaan menggugat dari dalam, apa ia
kesimpulan yang sementara waktu itu benar-benar menjadi justifikasi asas
keadilan Tuhan. Lebih dari itu, kalau dipikir-pikir apakah bisa hidung mancung
Arab disamakan dengan bangirnya putri jawi, tingginya yang semampai,
sudut-sudut tajam dari mata, pipi, dagu dan lainnya. Ah, rasanya masih terlalu
egois kalau aku memandangnya sebelah mata, jangan-jangan emosi tingkat tinggi
yang membutakan rasa manja sirna dari kecantikan mereka. Aku pun mengulang
pandangan, mempertajam fokus retina, mencoba menggerakkan sel otak manja dan
menerima keunggulan Cleopatra-cleopatra pasca dinasti Fir’aun yang telah lama
berjaya.
Akhirnya,
harus ada jalan tengah yang menjembatani antara takaran cantik cleopatra dan
cantiknya putri-putri tanah Jawa (yang Betawi, Sunda, Padang dkk jangan
cemberut ya). Kalam akhir yang aku coba untuk bijak dalam menyimpulkannya
berakhir seperti ini; Jadi, kecantikan perempuan Mesir lumrah untuk tetap
diakui dan diunggulkan dari bangsa kita, akan tetapi kita harus ingat bahwa
kecantikan mereka berbanding lurus dengan kondisi tanah gersang dan kepenatan
penduduk, sifat keras dalam bertingkah laku, bersuara dan lain sebagainya. Sedangkan
Indonesia, kita tetap harus bersyukur bahwa kecantikan gadis bangsa (yang ala
kadarnya -?-) juga berbanding lurus dengan keindahan alamnya, kelembutan suaranya,
keuletan kerjanya dan, paling tidak mereka tidak akan pernah menghardikku
dengan kata Ya Hayawaan di tengah jalan, seperti yang aku rasakan di
bilangan Rabea Adawea J.
Dan aku pun kalah dengan premis-ku sendiri.
Dan aku pun kalah dengan premis-ku sendiri.
Ga usah jauh2, di Banjarmasin juga banyak cewek cakep :D
ReplyDeleteKalau tuisan ini Antum share di Facebook, pasti banyak akhwat yang ngelike karena baca paragraf terakhirnya. ^_^
ReplyDeletega di share tadz..? hehe
ReplyDelete