5 bulan di
pondok Dimsa (Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen) ‘akhirnya’ terjadi juga sebuah
moment yang menghentak, sebuah pengusiran 2 siswa SMP. Sebenarnya bukan rasa
bahagaia yang kami rasakan, tidak mungkin ketulusan guru mengajar dibarengi
dengan rasa haus akan pengusiran santri atau siswanya, namun di lembaga
pendidikan manapun sebuah kesalahan dengan berbagai tingkatannya haruslah
mempunyai sanksi klimaks yang memberi efek jera dan memutus mata rantai
kriminalitas.
Tersebut di
salah satu kelas di jenjang pendidikan kami, kelas 3 smp atau kelas 9 dalam
penyebutan yang baru saya kenal. Kelas 9 sejak Juni saya menginjakkan kaki di
komplek ini saya sudah sering mendenger tentang derajat kenakalan anak-anak
tersebut, plus tentang beberapa oknum dengan beberapa kesalahan yang mereka
perbuat, hingga akhirnya beberapa nama pun terinventarisir dalam memory saya,
dan akhirnya 2 orang inilah yang untuk saat ini mendapat giliran pendidikan
dengan dikeluarkan dari pondok.
Orang
pertama berinisial FA, sangat kontras dengan wajahnya, wajah yang begitu lugu
ternyata benar-benar tidak mewakili kelakuannya, terdaftar sebagai orang yang
manja dan dimanja oleh keluarganya. Beberapa kali melakukan kesalahan seperti
keluar pondok tanpa izin, berbohong atas nama orang tua, dll.
Kesalahan-kesalahan yang menjadi indisikasi tersebut ternyata ke depan
menggiring ke sebuah kesimpulan dan pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang
lebih dari itu.
Bentuk
kemanjaannya antara lain, ketika ada sanksi dari anak-anak IPM (Ikatan Pelajar
Muhammadiyah) –semacam OSIS atau OPPM- maka dengan serta merta ia akan
melaporkan kepada orang tua tentang apa saja yang sudah diperbuat oleh kakak
kelasnya, bahkan pernah keluar komentar darinya “Yo Pak lebokke neng penjoro
wae” hanya karena ia pernah ditendang tidak seberapa oleh kakak kelasnya
lantaran si FA berlaku bengal.
Kesalahan
yang termasuk kategori besar adalah; berhubungan dengan pekerja bangunan masjid
untuk membeli motor dan dibawa ke dalam pondok, membawa hp, merokok, minum
minuman keras di komplek pondok (ini emang gila), terlebih yang buat hati miris
adalah pernah suatu ketika dia kabur dari pondok menuju solo dengan alasan
ibunya dirawat di rumah sakit, ternyata selang beberapa hari ibunya pun
benar-benar menderita usus buntu dan akhirnya dioperasi di Solo.
Orang kedua
berinisial TP. Berbanding balik dengan watak yang pertama, TP termasuk orang
yang tidak manja tapi cenderung m-preman, bagaimana tidak, setiap dia melakukan
kesalahan justru ia pamerkan ke beberapa temannya, contohnya ketika dia menyudahi
meminum minuman keras ia pun dengan bangga memamerkan bau mulutnya kepada
teman-teman se asrama “Hah, mambu ciu toh…” (bodoh dan tolol).
Si TP
memang terkenal dengan membangkang, pernah suatu ketika ada informasi bahwa ia
terlibat perkelahian dengan salah satu teman kelasnya, atau ketika diingatkan
oleh guru selalu ada alasan yang terlontar melawan. Perwatakan seperti ini
ternyata juga dipengaruhi oleh lingkungannya yang sangat tidak kondusif.
Berikut
daftar kesalahannya; sering keluar dari pondok, merokok, meminum minuman keras,
minum pil koplo, yang terakhir memang masih diperdebatkan, sekalipun dia
terkenal sangat santun dan tunduk terhadap ibunya mungkin saking tidak teganya
dia merubah kesaksian di hadapan kami, ketika dia memang mengaku pernah mengkonsumsi
pil haram tersebut, akan tetapi ketika terjadi mediasi ulang dengan orang tua
dia mengingkari pengakuan yang sudah ia ucapkan.
Ada
perbedaan mencolok lainnya antar kedua bendulus ini. Jika TP digambarkan
oleh ibunya sebagai pribadi yang taat orang tua maka si FA sangat bengal dan
bahkan dalam kondisi ibu sakit pun dia malah mblayang entah kemana, sempat
mengunci diri dan sang ayah pun hendak mencongkel pintu kamarnya, ironi. Kalau
si FA tidak dikenal membangkang di depan guru sekalipun di belakang tetap
melanggar peraturan, tapi tidak dengan si TP dia terlihat santai dengan tingkah
membangkangnya di hadapan guru (alhamdulillah tidak berani di hadapanku J).
Sisa satu
orang kelas 11, dan masih dalam penjajakan.
0 comments:
Post a Comment