Wednesday, 8 October 2014


Kadirojo adalah dusun dimana saya berada, terbagi menjadi 4 rt; 15-16-17-18, saya sendiri menempati rt 17, batas utara adalah jalan semi-raya penghubung antara desa Papringan-dusun Kadisono, batas selatan dan barat adalah pematang sawah dan sungai, sedangkan batas timur adalah kebun tetangga yang sudah masuk Kab. Boyolali, kami memang terletak di perbatasan antara Kab. Semarang dan Boyolali.

Idul Adha kali ini sebenarnya jumhur masyarakat menginginkan satu tempat penyembelihan, maka diadakanlah perkumpulan membahas kepanitian Qurban 1435 H. Selaku penggagas perkumpulan adalah bapak im sendiri, selebihnya dihadiri oleh beberapa perwakilan masjid Utara, Timur, Selatan dan Tengah (Barat mana Barat? Ga ada bro). Kepanitiaan diketuai oleh Pak Sarjono dari Utara dan Mas Dalyono dari Selatan, kepanitiaan disahkan oleh perwakilan jumhur 3 penjuru dan 1 pusat mata angin.

Hanya satu yang mengganjal, masjid Utara diketuai oleh takmir yang masih konservatif, otoriter, galak, atau bahasa kasarnya ra ndue udel, ra ndue isin. Pasalnya, ketika jumhur masyarakat rt tersebut ingin gabung bersama kita dalam hal kepanitiaan kurban, Sang Takmir malah ingin membuat kepanitiaan sendiri. Secara dia adalah keluarga pewakaf tanah masjid, maka sifat kepemilikannya yang berlebihan dan cenderung otoriter memaksakan beberapa personil inti untuk ikut gabung di kepanitiaan yang muktazilah tersebut, sekalipun secara naluri dan ikrar lisan sebenarnya mereka ingin tetap gabung dengan group Tengah, Selatan, Tengah dan Timur. Ya sudah lah, lakum udhiyatukum lana udhiyatuna. Semoga pak SUTRIS cs diberi kebesaran hati dan kelapangan dada oleh Allah swt.

Kembali ke suasana kepanitiaan, setelah dibacakan struktur dan sambutan-sambutan, tibalah waktu penentuan imam dan khathib, sesaat kemudian disebutlah nama im untuk menjadi imam dan khathib. Sempat beberapa detik saling tunjuk antara im dan Lik Harno. Im utarakan bahwa, kalau momen kita kali ini adalah regenerasi imam dan khathib muda maka ada beberapa nama selain im; Lik Harno dan Mas Kukuh. Sekalipun kalau im mau maka tergantung hari kapankah jumhur akan melaksanakan sholat idul adha? Spontan beberapa jumhur menyahut, “Ya benar, penentuan hari memang sangat penting.. bla bla bla” intinya, para jumhur ingin sholat hari Ahad karena mengikuti pemerintah. Dan setelah itu, im laksana batu karang di tengah  lautan (im kurang pasti di pinggir atau tengah :P ) mendeklarasikan bahwa im tidak bisa mengikuti idul adha di hari Ahad, karena bagi saya 10 Dzulhijjah adalah Sabtu. Dus, im pun sampaikan bahwa, yang penting kalau jamaah ingin Ahad ya monggo, dan silahkan dibuat kesepakatan, perkara Imam dan Khathib insyaAllah ada.

Dan bapak im lah yang hari ini terlihat imut-imut dan galau :P, tidak seperti biasanya. Secara pemahaman sebenarnya beliau memilih Arafah-Jum’at, dan oleh karena itu Idul Adha-Sabtu. Tapi sebagai tokoh publik keagamaan beliau mengalahkan diri untuk mengikuti jumhur yang hari Ahad, dan karena memang dusun kami sedang chaos. Dalih persatuan umat saya kira berlaku untuk kondisi bapak im. Dan sampai im tulis cathar ini bapak masih menghubungi orang lain untuk bisa berkhutbah di Ahad esok hari.

Tibalah h-1, malam tadi, im diminta untuk menggantikan pengajian di Kadirojo Timur, mengambil tema dari Hikam Athaiyyah dan melebar ke tema tentang level Islam->Iman->Ihsan. 1 jam lebih kolaborasi dzikir jama’I dan tausiyah dari im. Di sesi santai, ada beberapa pertanyaan, yang tidak biasa adalah tentang “Mas Rois, di sana udah terdengar takbir lha masak besok puasa dan ndak sholat”. Sebenarnya tema ini ingin saya hindari, untuk sementara ini im belum ingin merecoki suasana perbedaan di umat Kadirojo. Tapi secara sederhana im sampaikan bahwa kalau kita hari Jum’at kemarin sama-sama tahu hari Arafah dan kita sudah puasa Arafah, maka logisnya setelah tanggal 9 adalah 10, setelah Arafah adalah sholat Idul Adha. Dan sangat aneh bagi yang melaksanakan puasa Arafah di tanggal 9/hari jum’at tapi di hari Sabtu tidak sholat dan hari Ahad malah melakukan sholat. Jadi, status Sabtu itu tanggal berapa? Setelah 9 seharusnya 10, tidak ada tanggal 9 ½ Dzulhijjah.

Tapi setelah itu saya sampaikan juga bahwa yang berpendapat dibolehkannya puasa tanggal 9 (hari jum’at) dan sholat ied tanggal 11 (hari Ahad) adalah pemerintah, NU, Persis (sepertinya), PKS, fatwa Syaikh Utsaimin dan Dr. Anis, seperti yang dinukil dan saya baca di artikel. Jadi ya silahkan saja, tapi sekali lagi, bagi saya hal itu membingungkan. Dan saya pribadi esok hari Sabtu sholat di Miri, (sambil nyengir).

Dan, esok hari tadi, setelah menunaikan Ied di Miri, maka saya mengambil jalan lain sebagai ittiba’us sunnah, jadilah im melenggang dengan motor, berpeci putih, bersorban krem, berbaju dan sarung putih, plus jasket hitam. Dengan senyum yang agak dipaksakan melewati pasar Teguhan dan berpapasan dengan beberapa tetangga, terlihat aneh memang, di saat orang lain masih menyibukkan diri di pasar tapi im sudah bergaya ustadz segelintir umat menembus keramaian pasar. Allahu akbar wa lillahil hamd. TAMAT.


0 comments:

Post a Comment