Kadirojo adalah dusun dimana saya berada,
terbagi menjadi 4 rt; 15-16-17-18, saya sendiri menempati rt 17, batas utara
adalah jalan semi-raya penghubung antara desa Papringan-dusun Kadisono, batas
selatan dan barat adalah pematang sawah dan sungai, sedangkan batas timur
adalah kebun tetangga yang sudah masuk Kab. Boyolali, kami memang terletak di
perbatasan antara Kab. Semarang dan Boyolali.
Idul Adha kali ini sebenarnya
jumhur masyarakat menginginkan satu tempat penyembelihan, maka diadakanlah perkumpulan
membahas kepanitian Qurban 1435 H. Selaku penggagas perkumpulan adalah bapak im
sendiri, selebihnya dihadiri oleh beberapa perwakilan masjid Utara, Timur,
Selatan dan Tengah (Barat mana Barat? Ga ada bro). Kepanitiaan diketuai oleh
Pak Sarjono dari Utara dan Mas Dalyono dari Selatan, kepanitiaan disahkan oleh
perwakilan jumhur 3 penjuru dan 1 pusat mata angin.
Hanya satu yang mengganjal,
masjid Utara diketuai oleh takmir yang masih konservatif, otoriter, galak, atau
bahasa kasarnya ra ndue udel, ra ndue isin. Pasalnya, ketika jumhur
masyarakat rt tersebut ingin gabung bersama kita dalam hal kepanitiaan kurban,
Sang Takmir malah ingin membuat kepanitiaan sendiri. Secara dia adalah keluarga
pewakaf tanah masjid, maka sifat kepemilikannya yang berlebihan dan cenderung
otoriter memaksakan beberapa personil inti untuk ikut gabung di kepanitiaan
yang muktazilah tersebut, sekalipun secara naluri dan ikrar lisan sebenarnya
mereka ingin tetap gabung dengan group Tengah, Selatan, Tengah dan Timur. Ya
sudah lah, lakum udhiyatukum lana udhiyatuna. Semoga pak SUTRIS cs
diberi kebesaran hati dan kelapangan dada oleh Allah swt.
Kembali ke suasana
kepanitiaan, setelah dibacakan struktur dan sambutan-sambutan, tibalah waktu
penentuan imam dan khathib, sesaat kemudian disebutlah nama im untuk menjadi
imam dan khathib. Sempat beberapa detik saling tunjuk antara im dan Lik Harno.
Im utarakan bahwa, kalau momen kita kali ini adalah regenerasi imam dan khathib
muda maka ada beberapa nama selain im; Lik Harno dan Mas Kukuh. Sekalipun kalau
im mau maka tergantung hari kapankah jumhur akan melaksanakan sholat idul adha?
Spontan beberapa jumhur menyahut, “Ya benar, penentuan hari memang sangat
penting.. bla bla bla” intinya, para jumhur ingin sholat hari Ahad karena
mengikuti pemerintah. Dan setelah itu, im laksana batu karang di tengah lautan (im kurang pasti di pinggir atau
tengah :P ) mendeklarasikan bahwa im tidak bisa mengikuti idul adha di hari
Ahad, karena bagi saya 10 Dzulhijjah adalah Sabtu. Dus, im pun sampaikan bahwa,
yang penting kalau jamaah ingin Ahad ya monggo, dan silahkan dibuat
kesepakatan, perkara Imam dan Khathib insyaAllah ada.
Dan bapak im lah yang hari
ini terlihat imut-imut dan galau :P, tidak seperti biasanya. Secara pemahaman
sebenarnya beliau memilih Arafah-Jum’at, dan oleh karena itu Idul Adha-Sabtu.
Tapi sebagai tokoh publik keagamaan beliau mengalahkan diri untuk mengikuti
jumhur yang hari Ahad, dan karena memang dusun kami sedang chaos. Dalih
persatuan umat saya kira berlaku untuk kondisi bapak im. Dan sampai im tulis
cathar ini bapak masih menghubungi orang lain untuk bisa berkhutbah di Ahad
esok hari.
Tibalah h-1, malam tadi, im
diminta untuk menggantikan pengajian di Kadirojo Timur, mengambil tema dari
Hikam Athaiyyah dan melebar ke tema tentang level Islam->Iman->Ihsan. 1
jam lebih kolaborasi dzikir jama’I dan tausiyah dari im. Di sesi santai, ada
beberapa pertanyaan, yang tidak biasa adalah tentang “Mas Rois, di sana udah
terdengar takbir lha masak besok puasa dan ndak sholat”. Sebenarnya tema ini
ingin saya hindari, untuk sementara ini im belum ingin merecoki suasana
perbedaan di umat Kadirojo. Tapi secara sederhana im sampaikan bahwa kalau kita
hari Jum’at kemarin sama-sama tahu hari Arafah dan kita sudah puasa Arafah,
maka logisnya setelah tanggal 9 adalah 10, setelah Arafah adalah sholat Idul
Adha. Dan sangat aneh bagi yang melaksanakan puasa Arafah di tanggal 9/hari
jum’at tapi di hari Sabtu tidak sholat dan hari Ahad malah melakukan sholat.
Jadi, status Sabtu itu tanggal berapa? Setelah 9 seharusnya 10, tidak ada
tanggal 9 ½ Dzulhijjah.
Tapi setelah itu saya
sampaikan juga bahwa yang berpendapat dibolehkannya puasa tanggal 9 (hari
jum’at) dan sholat ied tanggal 11 (hari Ahad) adalah pemerintah, NU, Persis
(sepertinya), PKS, fatwa Syaikh Utsaimin dan Dr. Anis, seperti yang dinukil dan
saya baca di artikel. Jadi ya silahkan saja, tapi sekali lagi, bagi saya hal
itu membingungkan. Dan saya pribadi esok hari Sabtu sholat di Miri, (sambil
nyengir).
Dan, esok hari tadi, setelah
menunaikan Ied di Miri, maka saya mengambil jalan lain sebagai ittiba’us
sunnah, jadilah im melenggang dengan motor, berpeci putih, bersorban krem,
berbaju dan sarung putih, plus jasket hitam. Dengan senyum yang agak dipaksakan
melewati pasar Teguhan dan berpapasan dengan beberapa tetangga, terlihat aneh
memang, di saat orang lain masih menyibukkan diri di pasar tapi im sudah
bergaya ustadz segelintir umat menembus keramaian pasar. Allahu akbar wa
lillahil hamd. TAMAT.
0 comments:
Post a Comment