Thursday, 13 August 2009

Rute 3:
Seharusnya kami tidak masuk ke kota Alexandria dan cukup berhenti di Mauqif Jadid, sebuah stasiun utama sebelum masuk kota, karena untuk menuju  daerah yang dimaksud, akses yang kudu dilalui adalah Mauqif Jadid-Madinatul Hammam. Akhirnya kami kembali lagi ke rute yang kami lewati tadi, di Mauqif kami mencari tramco yang menuju Mdinatul Hammam.

Perjalanan babak baru dimulai, ditargetkan perjalanan kami menghabiskan sekitar 1 setengah jam. Hikmah kebablasannya kami dari rute yang sewarjarnya ternyata membawa keindahan tersendiri. Dengan keblabasan kita bisa dapat obat yang sulit dicari. Kisah perjalanan menuju Madinatul Hammam pun bisa dikatakan menarik, awal perjalanan disajikan dengan pemandangan malam yang biasa saja, jalan tol kosong, tramco ngebut dan lain-lain. Pertengahan perjalanan, entah fakta atau hayal adanya, tetapi pemandangan malam itu sungguh sangat mempesona, dari dalam tramco im melihat sisi kanan kiri jalan bentangan air yang luas, seolah-olah im jalan ditengah jalan yang dikelilingi danau, indah kan, di Mesir melewati jalan ditengah danau...tapi.. hehe malam yang mengacaukannya, karena hari ketika pulang im lihat bahwa jalan yang im lalui tersebut ternyata memang hamparan laut, tapi air laut yang dikeringkan, alias hamparan air yang belum jadi garam, karena komplek tersebut adalah komplek pabrik garam.

Namun begitu, im patut bersyukur pada malam, yang telah membuat imajinasi melayang. Tapi kita harus jujur bahwa pemandangan yang demikian memang wajar, keadaan malam yang tidak menyisakan kecuali bayang-bayang air dengan pantulan lampu-lampu malam yang menghiasi pabrik seolah menjelma seperti istana di pinggir danau yang berkerlip seperti bintang, ya, kerlipan bintang dengan segilima-nya, aku pun memicingkan mata terbelalak akan keindahannya, dan itu nyata. Fiuww.... Malam dan Siang, pembeda yang paling sempurna. Malam yang begitu indah selaksa New York ternyata harus disingkap keasliannya kala siang menjelma. Di siang hari ketika nanti kami pulang, semua berubah dari malam yang kita saksikan. Hamparan air laut yang dikeringkan ternyata menyimpan tidak hanya satu warna, entah kenapa warna air tersebut ada yang beruba menjadi merah, dengan gundukan tanah kadang menyembul di pertengahan hamparan calon garam tersebut. Deretan pabrik yang ketika malam seperti istana ternyata harus disingkap keasliannya, deretan pipa raksasa, cerobong api di setiap bangunannya, perumahan yang khas dengan bahan kimia...

2/3 Perjalanan setelah melewati jalan hayal, sampai lah kami ke sebuah jalanan yang berbanding balik dengan sebelumnya, jalanan desa, belum sepenuhnya teraspal, bebatuan koral yang lebih dominan, berbalap dengan truk-truk pengangkut bahan bangunan, dikelilingi daerah perkampungan khas padang pasir. Batin kami sempat dag dig tanpa duer seh. Kadang im menghibur diri dengan perjalanan yang sangat tidak bersahabat ini, gugusan lampu yang berderet di nun jauh yang -sepertinya- di ujung jalan im jadikan patokan untuk berkata, bahwa diujung jalanan jelek ini nanti insyaAllah tempat yang kita tuju, Madinatul Hammam.

Dan, ia saja setelah perasaan tak menentu sampailah kami di Madinatul Hamam, bukan seperti yang dinamakannya, suasana Hammam tidak sesuai sebagai Madinah, dia lebih seperti perkampungan Mesir. Ya, suasana itu akan ku ingat, dominasi galabiyah putih mewarnai kebanyakan penduduk yang lalu lalang di tengah malam.

Rute 4:
Huff.... perjalanan belum final, satu babak lagi untuk sampai ke tujuan, vila teman-teman, Qaryah Tuggariyyin. Berbanding balik memang, ketika Hammam diidhofkan dengan madinah dan ternyata isiny a adalah perkampungan, Tuggariyyin diidhofkan dengan qaryah dan ternyata pengistilahan yang dimaksud adalah perumahan villa TUggariyyin, hehe... semakin tajam memang beda pengistilahan dan penerjemahan, akan ada pembahasan ilmiah ke depannya neh :D.

Akhirnya kami memakai jasa ojek saja setelah sebelumnya nego sama tramco kecil yang tidak kami sepakati. Yunus penunggu toko yang menjadi perantara perkenalan kami dengan si ojek Jabir. Deal, kami bertiga berangkat dengan motor-cycle Hunday, Cina bangeeed. Lebih dalam lagi kami bisa melihat isi perkampungan Hammam, hampir setengah jam perjalanan kami menembus jalanan sepi perkampungan. Dus, sampailah kita di jalan raya. Jabir menghentikan Hundaynya, sedikit dia berwasiat, "nt turun bentar yah, ana minta bayaran sekarang 10 pond saja, murah daripada tramco yang minta 15-20 pond kan? nanti ketika sampai di depan gerbang Qaryah Tugariyin/ Vila yang dimaksud nt langsung turun dan salamannya sekarang saja, karena nanti setelah nt turun ana langsung tancap gas biar ga ketahuan sama polisi karena motor-cycle ga boleh lewat sini ok...!" Dengan mimik serius dia berusaha memahamkan kita, dan iya saja, kami menuruti nasehatnya.

Goodbye Jabir, thanks banged udah mbantu kita, entah gimana jadinya kalau kita ga ada tumpangan di tengah perkampungan yang begitu asing, mana waktu sudah malam lagi. Sampailah kami di gerbang perumahan, terlihat luas hamparan perumahan yang berderet di pinggiran pantai Mediterania, di samping luasnya QT ternyata disamping kanan kirinya juga ada perumahan lainnya. Sejenak kami berkenalan dengan penjaga gerbang, dia mengenalkan diri dengan Sinegra, jelas im dengar, Sinegra, nama asing yang bukan khas ke-Araba-an Mesir. Nafas lega yang im ambil ketika im melihat Ustadz Fikri dan Andre, keduanya datang menjemput kami yang baru kelelahan.

Cerita 2 hari yang sudah mereka lalui menjadi hiburan tersendiri setelah lelahnya perjalanan, aku pun berjalan sendirian di depan meninggalkan teman yang sedang berbincang di belakang, berharap sampai di vila yang dituju dan merebahkan badan di atas empuknya kasur empuk di dalam kamar.

4 comments: