Saturday, 4 June 2011

Kamis, 26 Mei 2011

Hari kamis menurut sabda Nabi merupakan hari malaikat piket melaksanakan tugasnya mencatat amalan manusia, plan A im sebenarnya ingin bangun pagi tanpa adding lagi, tapi nahas niat baik itu belum dibarengi azam yang kuat, akhirnya setelah subuh im terbangun hampir siang hari, ketika matahari hampir tidak lagi memberikan bayangan pada benda apa pun, panas dan teriknya di tengah ubun-ubun. Akhir-akhir ini memang merupakan pergantian cuaca dari semi ke panas, itu pun bagi yang punya keyakinan bahwa cuaca mesir terbagi menjadi empat, biasanya seloroh teman mengatakan bahwa musim di Kairo hanya ada dua, panas dan panas sekali, kategori yang sama seperti halnya Sudan, bagi im sendiri musim Kairo hanya satu; debu, dari sekian makhluk yang ada di sini im paling tidak akrab dengan debu.

Seperti biasa, 80 coret masih setia mengantar who so called penuntut ilmu, model bus boleh baru, berwarna merah dan harga pun naik dari 50 pst menjadi 1 Le, tapi parkir dan tata tertib penumpang masih sama, berdesakan yang, oleh temanku bus tersebut lebih mirip dengan kaleng sarden dengan isi yang begitu bejibun. Berawal dari bangun adding telat ditambah 80 coret yang berdesakan jadilah im sampai di Darasah/ kawasan Azhar tepat ketika adzan dhuhur berkumandang.

Cuaca yang begitu panas membuat udara siang hari begitu menyesakkan dan pengap, jadilah im memilih lorong lokal di pintu utama, im pikir di sini lebih nyaman karena lorong antara pintu utama dan aula tengah bisa menghasilkan hembusan angin yang im harap membuka pori-pori kulit yang begitu kering minim kelembaban.

Setelah mata im seret memaksa diri membaca diktat kuliah Manahij Mufassirin, datang seorang  anak lelaki dengan kulit khas Sho’id, dari gayanya memakai pakaian yang seadanya, im simpulkan bahwa dia adalah anak-anak usia belasan yang menjadi korban kerja buruh, tidak itu saja, sobekan celana dan beberapa kulitnya yang bercampur arang hitam semakin menguatkan dugaanku. Dia datang kepada im dengan membawa secangkir air putih dengan gelas yang biasa im lihat di tempat minum umum, dengan hati-hati dia membawanya dari belasan meter di luar masjid, entah karena dia kehausan atau memang berniat untuk memberiku. Bukan tidak ingin berterimakasih kepada si bocah, tapi aku memutuskan untuk tidak menerima tawaran minumnya.

Dengan serta merta dia menyapaku, aku masih berkutat dengan diktat kuliahku yang setengah lebih belum ku lahap. Naluri pribumi jawa memaksaku untuk menjawab sapaannya, jadilah obrolan kecil dimulai. Dari menanyakan nama dan daerah, ku jawab singkat dengan menyebutkan negara INDONESIA. Dengan cepat dia menimpali, “Indonesia itu di benua Asia?”, kuiyakan dengan saja tanpa lirikan berarti, aku masih berkutat dengan diktat, sorry. Dalam hati aku heran, bocah kumuh itu bisa menghubungkan negara dengan benua. Tapi ketika kutanya apakah dia sekolah atau tidak, dia memberikan komen negatif, seperti dugaanku pertama, dia tidak mengenyam bangku sekolah.

Bocah teresbut memperkenalkan namanya dengan Islam, ia dilahirkan di daratan selatan Mesir oleh orang tuanya, tapi berdomisili di Kairo dengan puluhan saudara yang ia aku kandung, mereka tinggal di kawasan Husein, daerah pengrajin pahatan patung dan cindera mata dari tembaga, daerah tersebut bernama Harat Yahud, menurut keterangannya penamaan tersebut didasarkan sejarah tempat yang dahulu kala merupakan tempat komunitas Yahudi Mesir.

Ketika Islam kutanya dari mana dia tahu Asia padahal dia tidak mengenyam bangku sekolah dia menjawab bahwa dia pernah pergi menginjakkan kakinya di Benua terluas di dunia itu. Dengan lugu tapi meyakinkan dia bercerita bahwa ketika dia berumur 15, atau 3 tahun yang lalu, dia bersama saudaranya dan pamanya pergi ke salah satu negara di Asia, mungkin Bangkok pikirku. Aneh tapi aku tidak terlalu peduli, perawakan Islam yang kulihat tidak menunjukan bahwa dia sekarang berumur 18 tahun, jumlah terlalu tua untuk perawakan yang masih begitu lugu, aku bisa mendeteksi keluguannya sekalipun gaya buruh compang-campingnya kentara. Masih menurutnya, ia pernah 3 kali bepergian ke Asia untuk membantu pamannya bekerja sebagai pematung. Dalam pembicaraannya kutangkap kalimat Bangkok, hal ini mungkin benar mengingat negeri tersebut adalah negeri yang mendominasi patung.

Sekarang dia mengajariku beberapa kalimat atau ungkapan arab versi mesir; ‘amiyah. Di beberapa kalimat sudah aku ketahui namun belum terlalu sering im praktekkan, memang seharusnya bahasa dipraktekkan bukan -sekedar- dipelajari, gaya dia mengajari terkesan menggurui, malas jadinya meneruskan kalimat-kalimat yang sebenarnya im sudah tahu. Melihat im yang lagi boring dia menanyakan photoku, aku membatin untuk apa bocah seperti dia meminta sebuah photo dariku. Pertanyaan dalam hati ini mungkin terasa olehnya, dia berencana membuatkan sebuah …. entahlah, mungkin patung, lukis wajah atau apalah yang berkenaan dengan kata kunci; wajah, patung, lukis, seni. Tanpa harus dibebeani dengan berbohong im bilang bahwa im tidak bawa photo, toh juga dalam benakku terlalu bahaya memberikan photo pribadi ke orang yang baru dikenal, salah-salah kena sihir. Sekedar berjaga, bukan suu’dhon, ....amin J.

Adzan berkumandang, im ambil air wudhu langsung ke shof depan, selesai sholat kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah, perasaan im selalu ingin menghabiskan sore di perjalanan, atau paling tidak di ruang terbuka yang menyisakan siluet senja. Beberapa langkah menuju pintu keluar, im bertemu lagi dengan Islam, bocah yang ngobrol tadi, ditangannya terlihat ingin memberikan pecahan 50 pst dan tutup bolpen yang oleh im baru sadar tertinggal di tempat kami bercengkerama. “Ilal liqa’ ya shodiq, syukron J

0 comments:

Post a Comment