Masih 26 Mei 2011 di tempat yang sama, Jami’ al-Azhar
Kali ini tentang rentang waktu im menghabiskan sore untuk belajar di teras depan masjid. 3 hari ini area masjid sepertinya sedang dijadikan tempat syuting ceramah dari syaikh, terbukti lembaran kain biru menghiasi ruas-ruas reng setiap teras, beberapa podium sederhana juga terletak berkombinasi di ruang tengah masjid yang terbuka, beberapa hiasan cindera mata juga berderet di teras, dan tidak biasanya, keberadaan kursi shofa dan meja antik yang kujadikan alas buku sepertinya termasuk bagian persiapan acara.
Awal im duduk ada seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengulangi hafalan Qurannya, im sapa dan dengan anggukan sederhana dia membalasku, im maklum sepertinya dia sedang benar-benar fokus tentang hafalannya. Beberapa waktu kemudian setelah teman Indonesia pergi datang anak-anak kecil, secara bergilir mereka membuat sedikit keramaian dan obrolan imut, selang beberapa waktu pengurus masjid melarang mereka mendekat tatanan kursi tadi lantaran takut merusak dan agar tidak membuat keributan lebih. Jadilah komposisi yang menduduki kursi tersebut im, pelajar mesir, Eka yang barusan nongol dan syaikh Nabil.
Orang terakhir yang im sebutkan bukan lantas seperti syaikh-syaikh umumnya yang mengajar di kuliah atau orang hebat dalam ilmu agama, beliau hanya orang biasa yang kesehariannya atau mungkin sering im lihat mendatangi masjid Azhar untuk sholat berjama’ah. Nama lengkapnya Nabil Muhammad Ahmad Salman, tiga nama terakhir merupakan indeks gen yang diturunkan padanya; ayah – kakek – buyut. Orang Mesir memang diwajibkan hanya mempunyai satu nama saja, ukuran nama tersebut maksimal satu kalimat atau frasa, atau mentoknya dalam bahasa Arab dikenal dengan mudhof wa mudhof ilaih. Dia tinggal di kawasan pertigaan Bensin - RS Husein dan tempat parkir, tempat tersebut tidak jauh dari komplek kuliah dan masjid.
Umurnya sudah tua, perawakannya pun tidak jauh dari orang tua Mesir lainnya, beruban, cenderung tambun, berjalan ringkih, dan satu lagi yang ciri keumuman orang Mesir, giginya ompong -sory- dan tidak berwarna putih atau kuning bersih. Ia berjalan dengan tongkat sebagai alat bantu meringankan langkah kakinya yang mungkin terasa berat menyangga badan tambun dan tingginya.
Pertama kali im ingat orang tua ini mungkin beberapa tahun lalu, mengingat gaya khasnya menebar salam mengingatkanku padanya, tapi ketika itu im tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Pertama kali im ‘lihat’ beliau adalah beberapa hari ini ketika im belajar di Jami’ atau Masjid Azhar. Gaya khasnya menyapa setiap orang yang ia lewati dengan salam, sambil mengangkat rendah tongkat yang ia sandang ia ucapkan ke setiap orang yang ia lewati dengan sapaan khas islam secara fasih “Assalamu alaikum warahmatullah”, dengan pelan tapi pasti, sekian orang yang duduk di teras masjid mendapat jatah keselamatan yang ia tebar. Pertama kali im pikir paling bapak ini lagi seneng, atau lagi dapat rizki, atau apa saja yang menjadikan moment tersebut hanya temporal belaka. Lambat laun atau beberapa hari setelahnya setiap im belajar di masjid dan duduk di teras waktu ashar tiba, pasti beliau datang dan tidak bosan-bosannya setiap hari dan setiap orang ia berikan salam keselamatan.
Di kesempatan ini ternyata beliau duduk di sampingku, bawaannya biasa, sambil meniti setiap ruas jemari, lisannya berkomat-kamit merapal tasbih. Datang temanku dari belakang dan tanpa salam ia mengagetkanku, sudah mafhum si Eka ingin mengagetkanku makanya dia tidak menyapaku dengan salam di awal bertemu. Kakek tua itu dengan sigap tapi santun dan tersenyum berujar kepada Eka agar mengucapkan salam untukku, dengan perasaan agak pakewuh aku ucapkan terima kasih, dan agak sedikit membela aku jelaskan bahwa Eka hanya ingin mencandaiku toh setelahnya aku dan dia juga bertegur sapa, kakek tersebut mengangguk maklum. Kesantunannya yang membuatku mengawali obrolan singkat dengan beliau, orang yang belum aku kenal. Aku tanyakan dia apakah benar bahwa dia adalah orang yang setiap saban ashar keliilng teras masjid dan menyapa setiap orang dengan salam, dia mengiyakan sekaligus menyetir hadits nabi agar kita ‘memberikan salam kepada orang yang kita kenal dan yang tidak kenal’.
Saat-saat ia duduk beberapa orang yang ‘kenal’ dengan beliau bisa dipastikan tidak melewatinya kecuali ia ucapkan salam kepada kakek tersebut, hingga ada seorang pemuda yang mungkin lupa atau memang tidak tahu dengan kakek tua ini, secara bebas melenggang di depannya hingga kakek Nabil menegurnya “afsyus salam ya syabab”, pemuda yang ditegur pun malu dan dengan gaya nuwun sewu meminta permisi atasnya, senyum pemuda itu sepertinya menandakan bahwa ia ‘kenal ’ dengan syaikh Nabil. Dan sekali lagi sambil menyetir hadits salam yang diatas ia melirikku sambil bergurau “halla anshohhu?”, kujawab dengan sekenanya “ayyuwah ya syaikh ashobt”, senyum diantara kami selama ini menandakan bahwa obrolan tentang ajaran salam tidak harus selalu dijadikan bahan diskusi serius, tapi cukup dengan praktek dan nasihat tulus. Satu hadits, satu ajaran, tidak hanya satu kali mencoba keistiqamahan. Syukron Syaikh Nabil Muhammad Ahmad Salman.
0 comments:
Post a Comment