Saturday, 18 June 2011

Jum’at kemarin bisa dibilang hari keburuntunganku, tidak seperti hari-hari aktif kegiatan ekstrakurikuler di luar kuliah, jum’at di bulan-bulan ini benar-benar menjadi FREEday, biasanya FRIdayku terganggu dengan aktifitas lainnya, tapi kali ini kekosongan tersebut bisa im manfaatkan untuk menunaikan sholat wajib Jum’at di masjid favorit, beruntung pula pagi hari itu im tidak memubadzirkan -lagi- keberkahan pagi, inget kan, albarakatu fi bukuuriha.

Singkatnya, im sampai di masjid Sultan Hasan yang terletak di bilangan Sayyidah ‘Aisyah kisaran pukul 12.00 siang, sekian langkah menjejalkan kaki di bagian dalam masjid adzan dhuhur pun berkumandang, adzan pertama menunjukan waktu dhuhur atau Jum’at sudah tiba, sedangkan di adzan kedua nanti biasanya Imam sudah menaiki mimbar dan siap untuk menyirami rongga dahaga para jama’ah menanti siraman rohani, heheh bukan lebay gan J.

BIASANYA, yang menjadi khatib dan imam resmi di masjid ini adalah Syaikh Ahmad Himayah, seorang imam yang lumayan masih muda untuk ukuran ilmu yang beliau miliki, cara penyampaian yang bijak, pengalaman berdakwah di negeri orang, ya dulu beliau pernah menjadi utusan di Negeri Hitler bagian selatan, yang membuat daya tarik lebih bagi beliau adalah suara tartil al-Qurannya yang merdu, menghayati dan menunjukan its his class dalam memahami apa yang ia baca. Nah, itu kan biasanya, kalau hari ini memang spesial day yang luar biasa.

Syaikh Ali Jum’ah lah yang kali ini menaiki mimbar setinggi 4 meter-an itu, orang-orang mesir di sekelilingku setelah selesai sholat biasa juga menyapa Habib Ali, atau sapaan kedekatan lain untuk orang yang dipandang pintar dan alim. Beliau sebagai mufti Mesir tergolong mempunyai jam padat tapi sempat mengisi di masjid yang sudah lama ia tinggalkan, nostalgia, mengingat sebelum Syaikh Ahmad Himaya menjadi imam resmi disini pendahulu beliau adalah Syaikh Ali Jum’ah, kemudian dilanjutkan oleh Syaikh Usamah Sayyid Azhary hingga akhirnya Syaikh Ahmad Himaya yang menggantikan beliau berdua. Pikirku, melihat sepak terjang pendahulunya, masjid ini benar-benar mencetak kader unggulan.

Dengan tongkat di tangan kanan, beliau menggiring jama’ah untuk mengkaji bersama magnum opus Imam Ghazali di kitab Ihya Ulumiddin, yang ingin beliau sampaikan adalah mengenai 7 anggota badan yang harus selalu kita jaga dari hal-hal tercela. 7 anggota tersebut adalah mata, telinga, lisan, tangan, kaki perut dan organ vital. Mata sebagai organ lunak pertama beliau jabarkan lebih lebar dari lainnya, dari ghadul bashar, larangan mencuri pandang bilik rumah lain, dan bahkan diperbolehkan bagi tuan rumah untuk melukai mata nakal tersebut. Selebihnya beliau menyampaikan point lain dengan lebih singkat. Khutbah pertama dimulai pukul 12.10 dan diakhiri pas ketika jarum panjang menunjukan pukul 12.30, ya untuk sesi pertama khutbah hanya berkisar 20 menit saja, tidak terlalu muluk-muluk.

Selesai khutbah biasanya dilanjutkan dengan pelajaran singkat oleh Imam Ahmad Himaya, tetapi karena masjid ini beruntung didatangi dua orang ulama’ besar jama’ah pun antusias menunggu sekaligus bingung, siapa yang bakal memberi petuah usai khutbah nanti. Im dan jama’ah lain sempat lama menunggu, im sendiri tidak terlalu ambisius untuk berdesakan di pintu ruangan khusus imam, im hanya menunggu di barisan depan mihrab di tempat biasanya beliau menyampaikan dars.

 Waiting is boring tersebut akhirnya terjawab dengan munculnya Syaikh Usama Azhary, beliau duduk sembari merapikan jalabiyah hitam khas imam, berulang kali beliau merapikan busana tersebut agar match dengan duduknya yang bersila di atas kursi. Hal tersebut wajar karena beberapa pelajaran yang disampaikan beliau biasanya berkaitan dengan beberapa channel tv, entah siaran langsung atau rekaman, dan kali ini mendengar obrolan jama’ah dengan operator tv acara ini adalah rekaman. Waktu berselang hingga datang asisten beliau membawa salah satu jilid Syarh Riyadhus Sholihin cetakan Darussalam.

Satu hadits tersebut berbicara tentang beberapa tanda hari akhir, bahwa suatu hari nanti akan ada prajurit bersenjata yang menyerang Ka’bah lagi, laiknya zaman Abraham atau beberapa dekade lalu ketika Ka’bah diserang orang-orang Syi’ah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh A’isyah Ummul Mu’minin, ketika ia mendengar hal tersebut dari Rasulullah terjadilah obrolan dengan beliau, A’isyah Ra. bertanya tentang keadaan orang-orang  dan para pedagang di sekitar Ka’bah, apakah mereka akan mendapatkan musibah serupa padahal mereka tidak masuk bagian dari prajurit yang menyerang Ka’bah, Rasul pun menjawab bahwa hal tersebut tergantung atas niat masing-masing orang dan pedagang. Dari hadits ini Syaikh Usamah mengambil 2 point utama yaitu tentang; Tanda-tanda Akhir Zaman, dan Niat seseorang yang sangat penting di hadapan penilaian Allah.

Untuk menjelaskan hadits diatas, Syaikh Usamah menghabiskan waktu 1 jam, bagi yang belum terbiasa menghadiri perekaman kegiatan diatas, kegiatan tersebut terasa ganjil, karena Syaikh Usamah lebih terikat dengan mekanisme penyutingan daripada kultur ceramah yang biasa. 1 jam tersebut dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing bagian dimulai dengan salam dan kalimat tamhid, jadilah di satu jilsah seolah-olah kita sudah mengikuti 3 jilsah. Beberapa segi perbedaannya yang sudah diset-up oleh media mungkin yang mencolok adalah di cara penyampaian antara 3 penyampaian. Yang pertama adalah penyampaian global tentang hadits, yang kedua inti, yang ketiga adalah konklusi. Simpel tapi terkesan monoton bagi jama’ah yang secara live berada disitu. Ala kulli hal, mencari ilmu memang harus pandai memanfaatkan kondisi, bila mencuri salam saja dianjurkan apa lagi mencuri ilmu J.

0 comments:

Post a Comment