Tuesday, 24 January 2012

Sore-sore tetangga samping menghampiri ke kamar kami, biasanya dia menyapa ketika malam hari, itu pun terkadang sekedar double move-nya dia, menyapa penghuni kamar sambil mengambil makanan yang dilempar dari bawah ke balkon. Karena cara itulah yang menjamin makanannya tidak dirazia oleh penjaga asrama, membawa makanan ke kamar merupakan peraturan yang sangat dijunjung tinggi oleh penjaga kami, jadi kalau kita beli makanan minus tas maka cara di ataslah yang dijadikan alternaif, hehe, ndeso banget kan J.

Setelah saling tegur sapa sederhana, Athas dari Comoro mengutarakan maksudnya bahwa ia ingin mengajak teman-teman im ke masjid Amru bin Ash untuk menghadiri muhadharah Syaikh salafy; Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh Abu Ishaq dan Syaikh Abdul Khaliq, pembicara pertama dan kedualah yang paling merepresentasikan kesalafiyahannya, paling tidak hal tersebut seperti statement Athas. Teman-teman sekamar tidak bisa mengiyakan ajakannya, aku pun menawarkan diri untuk menemaninya ke masjid yang terletak di daerah Fusthath tersebut, setelah tawar menawar akhirnya ia mengalah untuk berangkat usai maghrib tepat lantaran waktu itu im masih sibuk dengan pakaian kotor di kamar mandi, sesuai sugestiku kita tidak akan terlambat bila jalanan lancar sekalipun berangkat setelah maghrib, toh acara baru dimulai setelah isya.

Maghrib berkumandang, ya Maghrib Cairo, bukan 'Maghrib Jakarta' seperti di film yang beberapa hari lalu im tonton. Sambil menuju masjid Khazan Athas menyarankan rute aneh menuju masjid Amru bin Ash, sejatinya dia belum pernah ke sana tapi menurut arahan temannya yang ketika itu menunjuk sebuah masjid Amru bin Ash padahal menurut cerita Athas mereka sedang menaiki bis 179 yang setahu im sama sekali tidak melewati jalur dimaksud. Selesai maghrib bis 65 pun muncul, im sampaikan ke dia bahwa dengam bis ini kita akan turun tepat disamping masjid.

Butuh 1 jam setengah untuk bisa sampai di lokasi yang dimaksud, lepas dari waktu tempuh yang im prediksi, sejak dari Sabi'-Rab'ah-Nadi Sikkah-Sholah Salim-Sayyidah Aisyah dan akhirnya setelah keluar dari tubuh 'ular naga panjangnya', bis yang kami tumpangi macet. J aku hanya tersenyum kecut melihat perjalanan yang kami lakukan, sambil mendengar beberapa lisan arab menumpahkan sumpah serapah, bagiku hal itu mending macetnya bis dikarenakan hal yang jelas, sopirnya pun termasuk orang yang bertanggungjawab lantaran dia juga mencarikan bus alternatif bagi penumpangnya yang belum beruntung. Kami pun naik bus jurusan Imbabah dan direncanakan turun di Majral Uyun, salah satu nama halte yang dulunya dijadikan sumber irigasi air sungai Nil ke benteng Sholahuddin. Akhirnya kami menempuh jalan yang lagi-lagi tidak kami rencanakan, salah satu penduduk yang tinggal di lokasi tersebut menyarankan kita turun di sebuah pasar sebelum Majral Uyun dan mengambil jalur kiri, jalan terus hingga perempatan jalan raya kemudian melanjutkan rute yang seharusnya dilalui bis nahas tadi dengan kaki.

Yah, setelah 4 'paragraf' kami pun sampai, entah berapa lama acara sudah dimulai. Para jemaah yang hadir memenuhi bagian depan, sedangkan bagian sohn dan belakang kosong, tapi untuk ukuran masjid yang diklaim sebagai masjid terluas kedua setelah Ibnu Tholun jumlah seperti di atas sudah masuk kategori banyak, tak heran bila yang menduduki peringkat kedua setelah IM (im dengan huruf besar berarti Ikhwanul Muslimin wal Muslimat wal Mu'minin wal Mu'minat, syukur kalau sudah banyak yang mencapai Muhsinin wal Muhsinat).

Dengan alat pembesar (binocular) yang im boyong dari Saudi im fokuskan 3 pembicara yang duduk di depan dan objek di binocularku tidak menunjukan salah satu diantara mereka Syaikh Muhammad Hassan, setelah bertanya jamaah di samping im, ternyata Syaikh Muhammad Hassan tidak datang, padahal beliaulah yang paling im tunggu, pasalnya, salah satu musyrif asramaku yang notabenenya orang IM sangat menganjurkan kami untuk mendengar dan mencontoh bagaimana beliau menyampaikan muhadharah, menurutnya beliaulah pembicara yang paling memenuhi standar public speaking seperti yang di buku-buku how to, tidak hanya itu tentunya juga karena kedalaman beliau dalam mewarisi ilmu pendahulu.

Karena keterlambatan kami, beberapa pesan berharga Syaikh Abu Ishaq tidak kami dapatkan, beliau menyerahkan mic yang sebelumnya di tangan Syaikh Abdul Khaliq ke pembicara ketiga alias terakhir, Syaikh Nash'at bla bla, im kurang dengar betul. Dari yang im tangkap, pesan pertam yang beliau sampaikan agar kita tidak berpecah belah, karena dalam perpecahan tersebut akan banyak timbul kejahatan dan kehancuran. Selanjutnya beliau membahas tentang beberapa bahasan ilmu kalam seperti pemahaman shifat-shifat Allah, kriteria pemimpin yang berpegang teguh dengan syariat Allah dan nasihat lainnya berkenaan dengan akhlaq. Tidak begitu jelas im dengar, im pun jalan-jalan keluar menuju kamar kecil hingga akhirnya nyangkut di penjual minyak wangi di pelataran. salah satu jajanan penjual yang menarik adalah talbinah, di sampingnya tertulis keutamaan gandum liar dengan kesaksian hadis yang entah diriwayatkan oleh siapa, 5 pond im bayarkan hitung-hitung jajanan khas arab sekembalinya im ke Indonesia.

Masih terkait dengan dinamika politik Mesir yang menempatkan partai salafy di urutan nomor 2. Memang selama di dalam masjid tidak terdengar jargon hizb an nur ataupun hizb fadhilah akan tetapi settingan acara SALAH SATUNYA mungkin ditujukan untuk lebih menyadarkan masyarakat yang ada akan pentingnya pemerintahan islami. Di pelataran u masjid yang luas memang didirikan stand yang mengusung calon presiden teman-teman salafy Dr. Hazim Sholeh Abu Ismail. Beberapa petugas yang bercelana dan berjalabiyah nggantung membagikan angket yang entah apa isinya, Athas yang sepertinya fans salafy juga turut membeli poster salafy di atas, terlepas dari paspornya yang Comoro.

Yang membuat suasana fairplay terasa ternodai adalah ketika im temukan beberapa robekan kertas profile yang tertuliskan hizb hurriyah wal adalah di depan pintu masuk perempuan, jumlahnya tidak terlalu banyak, jadi mustahil bila orang IM sendiri yang menyebarkan di tempat dan acara yang secara jelas 'milik' tetangganya. Ruang provokasi pun rasanya mulai menjangkiti beberapa jamaah yang ada, entah pihak salafy atau pihak partai liberal lain yang tidak senang akan kerukunan partai-partai berbasis islam. Yang jelas, kalau pun im berada di posisi kaum celana nggantung, naluri im bakal memungut robekan-robekan kertas yang sangat tidak nyaman dilihat. Paling tidak dengan hal itu im menjadi orang merdeka yang bebas, bebas dari provokasi dan pengusik kedamaian yang tidak jelas sumbernya.

1 comments:

  1. enak tuh ka kalau sering-sering datangi majelis ilmu.
    pengen banget saya juga bisa gaul sama orang-orang di masjid.

    udah mau pulang aje ka :D

    ReplyDelete