Beberapa pekan yang lalu im lihat chanel ittijah mu'akis, program aljazeera yang menyajikan debat dan diskusi antara 2 pihak/pemahaman yang sangat berseberangan, persis seperti debat di TV One, eh salah, yang bener TV One yang seperti ittijah muakis. Dari segi bahasa nama program tersebut mempunyai arti arus yang berlawanan, biasanya membahas tentang beberapa isu yang mencuat di masyarakat, kadang tentang politik dan kadang tentang agama.
Yang sempat im downlod adalah tema Takfir, tema riskan tentang apakah boleh seseorang melabeli orang lain kafir tanpa jalur diskusi, fatwa seorang mufti, mencari tahu sebab dan niat seseorang tersebut berkata atau berbuat suatu tindakan yang memancingnya keluar dari Islam. Tidak tanggung-tanggung di acara tersebut dihadirkan 2 tokoh yang sangat berseberangan, Syaikh Ahmad Hasun dari Syiria mewakili pemikiran wasathiyah, dan Syaikh Fazazi dari Maroko mewakili pemikiran salafi.
Di hari berikutnya im lihat klip lain tentang debat juga, kali ini lagi-lagi antara orang yang ditokohkan wasathiyah dan salafi, yaitu antara Dr. Sa'd Hilali dan Amjad Ghanim di chanel Azhari-TV. Temanya tentang klarifikasi Dr. Sa'd Hilali yang beberapa pekan sebelumnya terhakimi oleh Amjad Ghanim di chanel an-Nas di program yang berjudul, Sa'adudin Hilali fil Mizan, program yang menghakimi Dr. Sa'dudin tentang beberapa pemikiran beliau yang menurut kebanyakan orang salaf menyalahi manhaj fikih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Cuplikan klip penghakiman atas Dr. Sa'd Hilali khas dengan gaya salafi, keras dan angker dengan caci maki.
Dari 2 perdebatan di atas kesimpulan sementara yang im ambil adalah, debat terbuka secara langsung sangat ketidakefektifan dalam menyampaikan maksud dari masing-masing pembicara/lawan debat. Di awal memang keduanya ingin berkomitmen diskusi berjalan dengan tertib, saling menghargai waktu bicara lawan dan memahami secara proporsional maksud dan kata-kata yang dilontarkan, tapi lama-lama suasana berganti dengan saling memotong pembicaraan lawan, tidak memahami kalimat lawan secara proposional, dan selalu saja antar keduanya terlihat tidak final dalam mengutarakan point yang dimaksud. Terkadang antara diskusan cenderung meruncingkan beberapa kata yang tidak substantif dalam pembahasan tema.
Tidak efisiennya gaya debat di atas bisa jadi disebabkan oleh format debat yang disetting berhadapan dan tanpa adanya alokasi waktu secara ketat bagi kedua pembicara, atau karena memang settingan debat diwakili oleh kedua kubu yang tingkat perbedaannya sangat jauh, salafi vs liberal, contohnya. Bisa juga karena watak Arab yang masih saja sulit untuk tidak membuka mulut ketika orang dihadapannya berbicara. Sepertinya poin pertama lebih tepat, tengok saja Indonesia, debat di TV One tidak jauh beda.
Sangat berbeda dengan debat ala Zakir Naik dan Ahmad Deedat dalam kajian kristologinya. Antara perwakilan Islam dan Kristen memiliki waktu yang telah ditetapkan, mempunyai catatan dan point tertentu yang menjadi topik pembicaraan serta runtut dalam menyampaikan hingga kalimat terakhir, sekalipun format debat seperti ini lebih cocok di acara dalam bentuk seminar terbuka.
memang diformat biar berantem, kali ... kalau di TV One kan sampe pake pukul bel segala, kayak di pertandingan tinju :)
ReplyDeleteiya pak wikan, susah klw dari awalnya ditujukan untuk berantem, sulit ngambil jalan tengah klw antara 2 pihak kadar perbedaan dan sikap terhadap masalah terlalu tajam... :D)
ReplyDelete