Wednesday, 29 February 2012

Jum'at lalu im berkesempatan melaksanakan ritual pekanan yang sudah 2 kali im tinggalkan, jum'atan di masjid Sultan Hasan. Syaikh Ahmad Himaya sangat menghayati ceramahnya tentang cerita sahabat yang bergelar safîrul islâm atau duta Islam untuk Persia. 

Selepas itu im niatkan pulang langsung ke Hay Ashir, tak dinyana microbus yang menuju Kampung 10 tersebut terhambat karena macet, ada sesekali 24 tapi penuhnya minta istighfar (ampun J). Akhirnya im berniat ke Rabea Adawea sekalian liburan di rumah lama. 

Bis jurusan Sayyida Aisha – Rabea Adawea nongol menyisakan beberapa kursi kosong, setelah beberapa ratusan meter berdiri di depanku seorang bapak tua yang, mungkin dengan sengaja menunjukan fisik yang loyo seolah memberi isyarat bahwa dia menginginkan singgasanaku. Tanpa mengurangi rasa hormat atas usahanya mencari tempat duduk, im tetap tak bergeming untuk memberikan kursi nyamanku, secara im sudah lama menunggu tumpangan berdiri di pinggir jalan, padahal kalau mau sedikit beralternatif seharusnya im jalan sebentar hingga akhir jembatan, karena beberapa microbus yang im maksud sengaja melewati jembatan layang menghindari macet.

 

Akhirnya im sampai juga di 4 (Rabea Adawea), tepat di depan masjid 4 im turun, sambil jalan, dalam hati masih terngiang pembicaraan singkat dari agen pengiriman uang yang tadi memberitahuku bahwa kiriman dari Indo sudah sampai dan rencananya bakal diantar ke asrama pukl 4 sore ini, sedangkan sekarang sudah pukul 3.30, akhirnya im intruksikan ke agen pengiriman uang tersebut agar memberikan kiriman kepada salah satu teman yang tinggal sekamar denganku. Di sela-sela im mengambil keputusan tersebut, tiba-tiba saja seorang pemudi dan perempuan setengah baya memberikan senyum kepadaku, disusul kemudian seorang pemuda khas dengan jambang Arab yang tercukur rapi menghampiriku. 

Intinya mereka adalah petugas Kementerian Kesehatan yang sedang patroli layaknya vampire yang mencari mangsa untuk disedot darahnya, berbagai cara persuasif mereka kerahkan, yang paling lebay adalah komentarnya tentang bangsaMesir banyak yang mati, semuanya mati, kita butuh darah untuk orang-orang Mesir, kami menginginkan darah suci seperti punya kalian. Tanpa harus terpancing dengan mujamalah mereka akhirnya im putuskan untuk menginfakkan sel-sel darah merahku untuk yang kedua kalinya di Mesir. 

Sebelum dicubles dengan jarum yang konon mengerikan, seorang perawat mengisi biodata yang berisi tentang informasiku. Dia juga bertanya apakah ada penyakit dalam, sudah pernah donor belum, terakhir kapan dan lain sebagainya. 

Im didudukan di kasur melengkung seperti busur, dengan posisi bagian perut lebih rendah dari kepala dan kaki. Dan…, karena perawatnya hanya perempuan, plus coklat manis J, dengan sentuhan ringan dia memposisikan tangan kiriku di bagian terendah kasur agar aliran darahnya mengalir lancar. Tangan kiriku disuruhnya menegang agar nadiku terlihat jelas, tanpa basa-basi jarum itu masuk di aliran darah dan seketika mengucur ke kantong plastik dengan volume 350 ml. Sesekali untuk mengusir ketegangan im minta salah satu perawat mengambil poto ketika prosesi donor untuk kenangan sebelum pulang, ya narsis J. 

Air mukaku lambat laun jauh dari kategori Djarum 76 yang penting happy, raut muka yang sebelumnya jenaka dengan perawat akhirnya pasrah menjadi sayu. Im kurang tau benar berapa menit yang diperlukan untuk memenuhi kantong tersebut, tapi bila im perkirakan, waktu minus kesadaran tersebut terjadi ketika volume terisi kurang lebih 300-an ml. Nafas yang im rasa semakin sempit, objek visual yang tertangkap oleh mataku seketika berubah seperti kamera Canon dengan setting sephia, buram dengan paduan kuning senja semi gelap, ya elah yang penting gitu lah :P. Saat-saat itulah im bertanya apakah kantong mungil itu sudah berdarah-darah, kapan jarumnya dicabut dan beberapa keluhan memelas lainnya. Pemuda yang memaksaku donor tadi masuk sembari menyemangati Kamu Orang Indonesia, Kamu Pasti Kuat, dia mengaku bahwa dia donor darah 3 bulan sekali. 

Hal yang sama juga im rasakan ketika donor darah 2 tahun yang lalu sebagai bentuk partisipasi warga Indonesia atas agresi Israel terhadap Palestina yang diselenggarakan oleh KBRI-Kairo. Moment kritis tersebut sepertinya hal wajar terjadi setiap kita kehilangan sekian cairan darah dari dalam tubuh, dan saat itulah perawat tadi mengusapkan kapas dengan cairan alkohol agar kuhirup, lumayan mencerahkan, jurus lainnya adalah melipat kaki lebih rapat menempel ke perut, beberapa cara tersebut lambat laun mengembalikan kesadaran im ke tingkat semula. 

Berbicara memulihkan kesadaran, im teringat ketika khitan, saat setelah prosesi pemotongan…. Intinya ketika im berdiri hendak memakai celana tiba-tiba saja tubuh ini melayang kembali tertidur di atas kasur, dokter pun menyuruh salah satu pembantunya untuk membuatkan kopi, dan sejak saat itu im dapat ilmu tentang teori kafein yang memompa jantung selanjutnya memompa laju darah dan menormalkan kembali kesadaran. Tak kalah menariknya adalah ketika salah satu teman sekembalinya kami dari Tahfana, lantaran capek mendera, mendadak teman im pingsan di tengah jalan Mutsalats, musim dingin di malam hari, tidak ada orang, hingga akhirnya im telpon beberapa teman lain dan segelintir orang Mesir menggotong YM (namam disamarkan), mendekati pemukiman seorang ibu-ibu berteriak dari lantai sembari melemparkan bawang merah berkata agar bumbu dapur tersebut diusapkan di hidungnya agar aromanya tercium, kontan ekspresi temenku bak vampir mengendus leher mangsanya, hal tersebut ternyata memberi efek kesadaran sekalipun tidak total.

Kembali ke mobil wazaratus sihhah, 350 ml sudah terisi, hadianya hanya sebungkus sirup buah yang tidak lebih dari 150 ml, darah ini seharusnya lebih mahal dari sebungkus sirup, im berharap dengan ridho-Nya darah ini bisa menjadi media penyambung nyawa bagi mereka yang membutuhkan. Keluar mobil im sapa petugas yang sedari tadi masih giat mencari donatur, tapi nahas, 2 orang di antara petugas dengan enjoynya merokok tanpa ada rasa berdosa, terlepas dari makruh atau haram -dan pastinya bukan sunnah muakkadah- hukum merokok, tapi sebagai petugas kesehatan yang sedang mengemis kantong darah rasanya tidak etis mereka dengan leluasa memiting Cleopatra dan Viceroy di jemarinya.

0 comments:

Post a Comment