Siang tadi im dikejutkan dengan SMS dari kakak pertama, sudah lama komunikasi dengan keluarga kurang intens, mungkin mereka sudah bosan menanyakan kepulangan yang sejak tahun kemarin selalu saja im balas bulan ini, itu hingga akhirnya raga yang terpisah 4 tahun lamanya masih saja berkubang di Negara Kotak Kardus. Awal tahun kemarin im janjikan kepulangan akhir tahun 2011, November/Desember-an lah, ketika 'tersendat' dengan Temus im pun berusaha meyakinkan bulan Desember atau awal Januari 2012 insyaAllah bisa. Januari 2012 berganti menginjak Februari, im pun masih menikmati kabut debu dengan temperatur suhu belasan Celcius.
Kembali ke short message service, inbox dari kakak pertama, Mb Ika im buka, melihat konten yang begitu penting seharusnya SMS ini bukan datang dari beliau, harusnya datang dari Ortu langsung atau orang yang bersangkutan, Mb Novi. Sambil menayakan kepulangan SMS itu berbunyi "Dik, kapan pulang, katanya akhir Januari, sekarang sudah Februari lho. insyaAllah Sabtu depan Mbak Novi sudah dikhitbah, doanya ya".
Khitbah adalah proses dimana seorang pria bertandang ke wali perempuan untuk meminta anak gadisnya agar menjadi istri dari pria tersebut. Setelah khitbah masih ada akad nikah dan walimah, masih ada1 babak tersisa bagi im untuk ikut menghadiri moment penting keluarga tersebut. Hari Sabtu depan sudah pasti im tidak bisa pulang, ijazah belum di tangan, transkip nilai masih dalam pembetulan, visa belum diperbarui, terlebih tiket gratis BZ juga belum turun, huft L. Bukan berlebihan bila im mengharap Mbak Novi sendiri atau Ortu untuk memberi kabar gembira ini, tahadduts bi ni'mah, ada yang ganjil bila moment penting seperti khitbah, walimah atau sebagainya tidak diinformasikan secara 'basah', right at the time.
Im pun menghitung hari, menghitung nasib tepatnya, mungkinkah 1 babak tersisa di atas bisa im hadiri, kalau saja akad nikah/walimah Mbak Novi juga terlewat begitu saja tanpa kehadiran adik laki satu-satunya, maka lengkap sudah 3 moment penting Mbak's-ku hilang begitu saja. Fanatisme keluarga, secara ekstrim bisa disebut demikian J, terasa risih bila mendapat 'orang luar' yang begitu saja masuk ke ruang keluarga tanpa harus tahu siapa dan dari mana dia. Memang tidak separah yang digambarkan, 3 mas ipar yang menjadi bagian baru keluarga kami secara prosedural telah melengkapinya; ta'aruf, khitbah, akad nikah, walimah. Bila di sepak bola ada istilah ultras untuk para tifosinya, mungkin saja im masuk kategori tersebut dalam keluarga.
Hingga sekarang, tanpa terasa, bila im kembali ke kampung halaman ada sapaan baru yang bakal melekat di telinga, ammu, atau dalam tradisi Jawa bermakna Paklik (Pak Cilik), atau Om dan Paman bila ditelusuri di KBBI. 3 keponakanku sudah tumbuh melewati jenjang daur thufulah, Dzirwa, Faidh dan Kuwais, 1 lagi yang masih bersemayam di rahim Mbak Eli. Waktu memang guru dari segalanya J.
0 comments:
Post a Comment