Pada awalnya Anda
adalah pengusung pemikiran sosialis Syahrir, mengapa tiba-tiba berputar haluan
terlibat dalam gerakan Tarbiyah?
Saya menapaki lembaran
baru, dari sosialis menjadi idialis agamis, sejak bertemu dengan Ustad Hilmy
Aminuddin (Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera). Ustad Hilmy yang
mengubah pandangan hidup saya.
Saya bertemu Ustad
Hilmy pada 1984, di dalam satu pengajian di rumahnya almarhum Hartono Marjono.
Sejak saat itulah saya mendalami Tarbiyah bersama Ustad Hilmy.
Hilmy Aminudin
dikenal sebagai anak biologis sekaligus idiologis Danu Mohammad Hassan,
panglima NII. Sejauh ini apa keterkaitan pemikiran Danu dengan konsep yang Anda
kembangkan bersama Hilmy Aminuddin?
Saya tidak sampai
mendalami sampai sejauh itu. Saya juga tidak pernah menanyakan soal itu ke
Ustad Hilmy. Yang pasti Hilmy adalah seorang ustad yang banyak merubah hidup
saya. Saya kurang mengerti latar belakang beliau.
Ada sinyalemen, Anda
mengembangkan skenario, seperti yang dijalankan Ali Moertopo dalam Operasi
Khusus (Opsus). Yakni, membentuk gerakan Tarbiyah untuk menyeragamkan sekaligus
meredam gerakan Islam radikal yang membahayakan penguasa?
Saya tidak tahu kalau
sampai sejauh itu. Saya tidak pernah di Opsus. Apa yang saya sampaikan ini
tidak ada yang saya sembunyikan. Saya mendapat pelajaran intelijen atau dididik
intelijen pada saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Pajajaran. Saya dididik oleh Asisten 1 Kodam Siliwangi, Kharis Suhud.
Ketika itu ada sepuluh
mahasiswa dibina untuk menghadapi atau mengawasi gerakan Partai Komunikas
Indonesia di dalam kampus. Dalam aktivitas itulah saya mendapat pengalaman
politik dan intelijen. Setelah itu saya masuk dalam Milsuk (militer sukarela)
dalam rangka konsolidasi dengan Malaysia. Kami direkrut dalam Komando Siaga
Mandala 1965.
Ketika pecah G30S PKI
saya diminta untuk memberikan pemikiran-pemikiran kepada Asisten 1 Kostrad,
Yoga Sugama. Setelah Yoga diangkat sebagai Wakil Kepala KOTI, saya menjadi
stafnya. Demikian juga ketika Yoga diangkat sebagai Kepala BAKIN, saya menjadi
tenaga ahlinya.
Karir Anda di
pemerintahan cukup fenomenal. Salah satunya saat menjabat Sekjen Dephutbun,
Anda direstui sekaligus dicopot oleh Gus Dur yang saat itu menjadi presiden.
Anda melihat adanya konflik kepentingan, mengingat sejak awal pengangkatan Anda
ditentang banyak pihak?
Sampai saat ini saya
tidak tahu apa sebenarnya alasan Gus Dur ngotot mencopot saya. Yang pasti, saya
memang terus menyuarakan adanya korupsi di lingkungan Dephutbun. Banyak yang
merasa terganggu dengan aktivitas saya. Saya hanya melaporkan apa adanya, bahwa
banyak pengusaha yang terbukti melakukan tindakan ilegal.
Saya dicopot oleh Gus
Dur mungkin karena adanya informasi yang menyesatkan. Bahkan saya sempat
dituduh melarikan Tommy (Hutomo Mandala Putra) dengan helikopter. Saya juga
dituduh terlibat dalam rencana kudeta. Aktivitas saya dituding didanai oleh
militer. Tentu saja saya tidak terima dituduh seperti itu, sehingga Gus Dur
saya gugat. Meskipun Gus Dur presiden, saya sebagai warga negara tentunya boleh
menggugat Gus Dur.
Ada kesan Nurmahmudi
Ismail (Menhutbun) membela Anda karena alasan politis, di mana Anda satu
barisan dengan Nurmahmudi?
Untuk mencopot saya,
presiden harus melalui menteri terlebih dahulu (Nurmahmudi). Hanya saja karena
menteri tidak menemukan bukti itu. Memang sempat terjadi tarik menarik.
Anda sering dituduh
terlibat korupsi, salah satunya penyelewengan dana bantuan dari Komite
Solidaritas Muslim Bosnia?
Bisa konfirmasikan
kepada Sri Edi Swasono. Ketika itu perintah Probosutedjo sebagai ketua Komite
Solidaritas Bosnia ke saya seperti apa. Semua pihak harus mengetahui persoalan
ini. Ketika itu kami datang ke Bosnia dan kami petakan apa sebenarnya yang dibutuhkan.
Pihak Muslim Bosnia
menyatakan terima kasih atas bantuan yang diberikan. Hanya saja meskipun
bantuan makanan, obat-obatan dan pakaian cukup, menjadi tidak berarti karena
tetap saja muslim Bosnia disembelih tanpa perlawanan karena tidak memiliki senjata.
Terus terang mereka meminta bantuan senjata.
Ketika itu saya
sampaikan permintaan itu ke petinggi komite, termasuk Sri Edi Swasono. Satu
saksi yang sudah meninggal yakni Lukman Harun. Dari situ perintahnya cukup
jelas.
Jadi jika ada tuduhan
merubah bentuk bantuan atau memanipulasi, bisa ditanyakan kepada saksi hidup.
Ada satu saksi lagi, Adi Sasono. Saya ketemu Adi Sasono di Kroasia ketika itu,
dalam rangka delivery senjata tersebut. Saya juga mengajak Adi Sasono masuk ke
Bosnia.
Dua saksi itu cukup
karena keduanya dalam posisi yang berbeda. Keduanya “berseteru” terkait Dewan
Koperasi. Jadi, jika dua sumber yang “bertentangan” bersaksi sudah cukup
sebenarnya.
Presiden Soeharto
bilang tidak mengetahui langkah yang Anda ambil terkait bantuan senjata?
Mungkin saja Soeharto
tidak tahu. Dalam dunia intelijen, seorang agen dimungkinkan untuk memungkiri
apa saja kalo memang ada covernya. Presiden mungkin saja tidak tahu, atau tahu
tetapi pura pura tidak tahu. Kuncinya ada di Probosutejo, disampaikan atau tidak
informasi itu ke Soeharto.
Justru Probosutejo
membidik Anda dengan kasus itu?
Jangan tanya saya, yang
jelas Probosutedjo yang memerintahakan kepada saya.
Selain terlibat
dalam kerusuhan rasial di Bandung, Anda juga dituduh mendalangi Peristiwa Malari?
Malari dimulai dari
adanya sekelompok mahasiswa yang melihat ada kecenderungan dominasi asing di
sektor usaha. Untuk itu modal asing harus ditentang. Berbarengan dengan hal itu
ada semacam gesekan, antara kelompok Ali Murtopo dan kelompok militer, sehingga
timbul ketegangan.
Ada satu kelompok
mahasiswa yang meminta pendapat saya. Mereka tidak setuju backing-backingan
militer. Beberapa kali saya berdiskusi dengan mereka. Akhirnya digelarlah
demo-demo di Jakarta.
Sebenarnya dengan
hal-hal tersebut sudah cukup bukti untuk menyeret Anda sebagai provokator aksi?
Buktinya saya tidak
pernah diperiksa. Memang saya dengar nama saya sudah masuk dalam target. Tetapi
ada bantuan dari teman-teman saja di intelijen sehingga nama saya tidak masuk.
Anda adalah sosok aktivis
yang bisa dibilang jarang berurusan dengan penjara, tidak seperti aktivis
lainnya. Itu karena kedekatan Anda dengan kalangan intelijen?
Saya pernah dihukum dua
tahun, waktu hura-hara di Bandung. Jujur saya akui memang ada yang membantu
saya, khususnya dalam peristiwa Malari.
Anda dikenal cukup
tajam dalam membuat analisa intelijen. Sebenarnya apa saja yang dibutuhkan
dalam menciptakan produk intelijen yang usefull?
Dari difinisi,
Intelijen itu bisa dipandang sebagai ilmu pengetahuan, sebagai aktivitas dan
intelijen sebagai organisasi. Intelijen sebagai knowledge, ilmu intelijen harus
dipelajari. Misalnya, seorang aktivis, dia harus rajin mengakses informasi,
salah satunya rajin membaca buku. Jika tidak, dia akan kurang pengetahuan. Saya
disebut sebagai pengamat intelijen karena saya rajin membaca buku-buku terkait
intelijen. Intelijen saat ini yang terpenting adalah analisis. Saat ini banyak
perwira intelijen yang tidak dibekali ilmu intelijen sehingga analisis yang
dibuat kurang sasaran.
Perkembangan
intelijen Indonesia saat ini ketika harus berhadapan dengan operasi intelijen
asing?
Paradigma intelijen di
Indonesia harus dirobah. Saat ini paradigma masih ekstrim kanan ekstrim kiri.
Jika intelijen masih mengacu pada pemikiran ekstrim kanan ekstrim kiri, maka
cara menganalisa dan cara mengamankan ancaman terhadap negara itu menjadi
usang.
Pasca perang dingin,
ada masalah-masalah yang bisa mengancam integrasi negara. Semuanya harus
dimulai dari self perseption. Masalah pertama yang terkait dengan self
perseption adalah masalah kerusakan lingkungan hidup, transnational crime,
pangan, dan separatisme. Transnational crime meliputi ilegal logging, money
loundring, cybercrime.
Karena saat ini dunia
ini tidak ada batas teritorial, tenaga dan organisasi harus menyesuaikan dengan
ancaman-ancaman tersebut. Tujuannya, agar supaya tenaga profesional itu siap
diterjunkan. Tenaga-tenaga profesional harus disesuaikan dengan badan-badan
intelijen yang ada (NOC/non-official cover).
Nama : Suripto, SH.
Tanggal Lahir :
Bandung, 20 November 1936
Agama : Islam
Orang Tua : R Djoko
Said-Siti Nursyiah Lubis
Nama Istri : Nur
Halimah
Pendidikan :
* SD 1953
* SMP 1954
* SMA Bag. B 1957
* S1 Fak. Hukum UNPAD
1964
Karir :
* Pendidikan Militer
Sukarela (Milsuk) (1964)
* Tim Sarjana G
(Gabungan) V Komando Mandala Siaga Kostrad (1965)
* Staf G (Gabungan) 1
Komando Operasi Tertinggi (Koti) (1966-1967)
* Staf Kepala BAKIN
(1967-1970)
* Lembaga Studi
Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1970-1981)
* Ketua Tim Penanganan
Masalah Kemahasiswaan (Tim PMK) Dikbud (1986-2000)
* Sekjen Departemen
Kehutanan dan Perkebunan (1999-2001)
* Komisi I FPKS DPR RI
(2004-2009)
Organisasi :
* Dewan Pembina
Pengelola Sumber Daya Alam Watch
* GMSOS (Gerakan
Mahasiswa Sosialis) (1957)
* Dewan Mahasiswa UNPAD
(1962)
* Ketua Dewan Pakar PKS
(2004)
* Dewan penasehat
Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Strategis
* (1995)
source: http://www.intelijen.co.id/profil/1280-suripto-legenda-intelijen-tiga-zaman- (sumber utama sudah dihapus)
0 comments:
Post a Comment