Sunday, 15 May 2016



Pada awalnya Anda adalah pengusung pemikiran sosialis Syahrir, mengapa tiba-tiba berputar haluan terlibat dalam gerakan Tarbiyah?

Saya menapaki lembaran baru, dari sosialis menjadi idialis agamis, sejak bertemu dengan Ustad Hilmy Aminuddin (Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera). Ustad Hilmy yang mengubah pandangan hidup saya.

Saya bertemu Ustad Hilmy pada 1984, di dalam satu pengajian di rumahnya almarhum Hartono Marjono. Sejak saat itulah saya mendalami Tarbiyah bersama Ustad Hilmy.

Hilmy Aminudin dikenal sebagai anak biologis sekaligus idiologis Danu Mohammad Hassan, panglima NII. Sejauh ini apa keterkaitan pemikiran Danu dengan konsep yang Anda kembangkan bersama Hilmy Aminuddin?

Saya tidak sampai mendalami sampai sejauh itu. Saya juga tidak pernah menanyakan soal itu ke Ustad Hilmy. Yang pasti Hilmy adalah seorang ustad yang banyak merubah hidup saya. Saya kurang mengerti latar belakang beliau.

Ada sinyalemen, Anda mengembangkan skenario, seperti yang dijalankan Ali Moertopo dalam Operasi Khusus (Opsus). Yakni, membentuk gerakan Tarbiyah untuk menyeragamkan sekaligus meredam gerakan Islam radikal yang membahayakan penguasa?

Saya tidak tahu kalau sampai sejauh itu. Saya tidak pernah di Opsus. Apa yang saya sampaikan ini tidak ada yang saya sembunyikan. Saya mendapat pelajaran intelijen atau dididik intelijen pada saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pajajaran. Saya dididik oleh Asisten 1 Kodam Siliwangi, Kharis Suhud.

Ketika itu ada sepuluh mahasiswa dibina untuk menghadapi atau mengawasi gerakan Partai Komunikas Indonesia di dalam kampus. Dalam aktivitas itulah saya mendapat pengalaman politik dan intelijen. Setelah itu saya masuk dalam Milsuk (militer sukarela) dalam rangka konsolidasi dengan Malaysia. Kami direkrut dalam Komando Siaga Mandala 1965.

Ketika pecah G30S PKI saya diminta untuk memberikan pemikiran-pemikiran kepada Asisten 1 Kostrad, Yoga Sugama. Setelah Yoga diangkat sebagai Wakil Kepala KOTI, saya menjadi stafnya. Demikian juga ketika Yoga diangkat sebagai Kepala BAKIN, saya menjadi tenaga ahlinya.

Karir Anda di pemerintahan cukup fenomenal. Salah satunya saat menjabat Sekjen Dephutbun, Anda direstui sekaligus dicopot oleh Gus Dur yang saat itu menjadi presiden. Anda melihat adanya konflik kepentingan, mengingat sejak awal pengangkatan Anda ditentang banyak pihak?

Sampai saat ini saya tidak tahu apa sebenarnya alasan Gus Dur ngotot mencopot saya. Yang pasti, saya memang terus menyuarakan adanya korupsi di lingkungan Dephutbun. Banyak yang merasa terganggu dengan aktivitas saya. Saya hanya melaporkan apa adanya, bahwa banyak pengusaha yang terbukti melakukan tindakan ilegal.

Saya dicopot oleh Gus Dur mungkin karena adanya informasi yang menyesatkan. Bahkan saya sempat dituduh melarikan Tommy (Hutomo Mandala Putra) dengan helikopter. Saya juga dituduh terlibat dalam rencana kudeta. Aktivitas saya dituding didanai oleh militer. Tentu saja saya tidak terima dituduh seperti itu, sehingga Gus Dur saya gugat. Meskipun Gus Dur presiden, saya sebagai warga negara tentunya boleh menggugat Gus Dur.

Ada kesan Nurmahmudi Ismail (Menhutbun) membela Anda karena alasan politis, di mana Anda satu barisan dengan Nurmahmudi?

Untuk mencopot saya, presiden harus melalui menteri terlebih dahulu (Nurmahmudi). Hanya saja karena menteri tidak menemukan bukti itu. Memang sempat terjadi tarik menarik.

Anda sering dituduh terlibat korupsi, salah satunya penyelewengan dana bantuan dari Komite Solidaritas Muslim Bosnia?

Bisa konfirmasikan kepada Sri Edi Swasono. Ketika itu perintah Probosutedjo sebagai ketua Komite Solidaritas Bosnia ke saya seperti apa. Semua pihak harus mengetahui persoalan ini. Ketika itu kami datang ke Bosnia dan kami petakan apa sebenarnya yang dibutuhkan.

Pihak Muslim Bosnia menyatakan terima kasih atas bantuan yang diberikan. Hanya saja meskipun bantuan makanan, obat-obatan dan pakaian cukup, menjadi tidak berarti karena tetap saja muslim Bosnia disembelih tanpa perlawanan karena tidak memiliki senjata. Terus terang mereka meminta bantuan senjata.

Ketika itu saya sampaikan permintaan itu ke petinggi komite, termasuk Sri Edi Swasono. Satu saksi yang sudah meninggal yakni Lukman Harun. Dari situ perintahnya cukup jelas.

Jadi jika ada tuduhan merubah bentuk bantuan atau memanipulasi, bisa ditanyakan kepada saksi hidup. Ada satu saksi lagi, Adi Sasono. Saya ketemu Adi Sasono di Kroasia ketika itu, dalam rangka delivery senjata tersebut. Saya juga mengajak Adi Sasono masuk ke Bosnia.

Dua saksi itu cukup karena keduanya dalam posisi yang berbeda. Keduanya “berseteru” terkait Dewan Koperasi. Jadi, jika dua sumber yang “bertentangan” bersaksi sudah cukup sebenarnya.

Presiden Soeharto bilang tidak mengetahui langkah yang Anda ambil terkait bantuan senjata?

Mungkin saja Soeharto tidak tahu. Dalam dunia intelijen, seorang agen dimungkinkan untuk memungkiri apa saja kalo memang ada covernya. Presiden mungkin saja tidak tahu, atau tahu tetapi pura pura tidak tahu. Kuncinya ada di Probosutejo, disampaikan atau tidak informasi itu ke Soeharto.

Justru Probosutejo membidik Anda dengan kasus itu?

Jangan tanya saya, yang jelas Probosutedjo yang memerintahakan kepada saya.

Selain terlibat dalam kerusuhan rasial di Bandung, Anda juga dituduh mendalangi Peristiwa Malari?

Malari dimulai dari adanya sekelompok mahasiswa yang melihat ada kecenderungan dominasi asing di sektor usaha. Untuk itu modal asing harus ditentang. Berbarengan dengan hal itu ada semacam gesekan, antara kelompok Ali Murtopo dan kelompok militer, sehingga timbul ketegangan.

Ada satu kelompok mahasiswa yang meminta pendapat saya. Mereka tidak setuju backing-backingan militer. Beberapa kali saya berdiskusi dengan mereka. Akhirnya digelarlah demo-demo di Jakarta.

Sebenarnya dengan hal-hal tersebut sudah cukup bukti untuk menyeret Anda sebagai provokator aksi?

Buktinya saya tidak pernah diperiksa. Memang saya dengar nama saya sudah masuk dalam target. Tetapi ada bantuan dari teman-teman saja di intelijen sehingga nama saya tidak masuk.

Anda adalah sosok aktivis yang bisa dibilang jarang berurusan dengan penjara, tidak seperti aktivis lainnya. Itu karena kedekatan Anda dengan kalangan intelijen?

Saya pernah dihukum dua tahun, waktu hura-hara di Bandung. Jujur saya akui memang ada yang membantu saya, khususnya dalam peristiwa Malari.

Anda dikenal cukup tajam dalam membuat analisa intelijen. Sebenarnya apa saja yang dibutuhkan dalam menciptakan produk intelijen yang usefull?

Dari difinisi, Intelijen itu bisa dipandang sebagai ilmu pengetahuan, sebagai aktivitas dan intelijen sebagai organisasi. Intelijen sebagai knowledge, ilmu intelijen harus dipelajari. Misalnya, seorang aktivis, dia harus rajin mengakses informasi, salah satunya rajin membaca buku. Jika tidak, dia akan kurang pengetahuan. Saya disebut sebagai pengamat intelijen karena saya rajin membaca buku-buku terkait intelijen. Intelijen saat ini yang terpenting adalah analisis. Saat ini banyak perwira intelijen yang tidak dibekali ilmu intelijen sehingga analisis yang dibuat kurang sasaran.

Perkembangan intelijen Indonesia saat ini ketika harus berhadapan dengan operasi intelijen asing?

Paradigma intelijen di Indonesia harus dirobah. Saat ini paradigma masih ekstrim kanan ekstrim kiri. Jika intelijen masih mengacu pada pemikiran ekstrim kanan ekstrim kiri, maka cara menganalisa dan cara mengamankan ancaman terhadap negara itu menjadi usang.

Pasca perang dingin, ada masalah-masalah yang bisa mengancam integrasi negara. Semuanya harus dimulai dari self perseption. Masalah pertama yang terkait dengan self perseption adalah masalah kerusakan lingkungan hidup, transnational crime, pangan, dan separatisme. Transnational crime meliputi ilegal logging, money loundring, cybercrime.

Karena saat ini dunia ini tidak ada batas teritorial, tenaga dan organisasi harus menyesuaikan dengan ancaman-ancaman tersebut. Tujuannya, agar supaya tenaga profesional itu siap diterjunkan. Tenaga-tenaga profesional harus disesuaikan dengan badan-badan intelijen yang ada (NOC/non-official cover).


Nama : Suripto, SH.
Tanggal Lahir : Bandung, 20 November 1936
Agama : Islam
Orang Tua : R Djoko Said-Siti Nursyiah Lubis
Nama Istri : Nur Halimah
Pendidikan :
* SD 1953
* SMP 1954
* SMA Bag. B 1957
* S1 Fak. Hukum UNPAD 1964

Karir :
* Pendidikan Militer Sukarela (Milsuk) (1964)
* Tim Sarjana G (Gabungan) V Komando Mandala Siaga Kostrad (1965)
* Staf G (Gabungan) 1 Komando Operasi Tertinggi (Koti) (1966-1967)
* Staf Kepala BAKIN (1967-1970)
* Lembaga Studi Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1970-1981)
* Ketua Tim Penanganan Masalah Kemahasiswaan (Tim PMK) Dikbud (1986-2000)
* Sekjen Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999-2001)
* Komisi I FPKS DPR RI (2004-2009)

Organisasi :
* Dewan Pembina Pengelola Sumber Daya Alam Watch
* GMSOS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) (1957)
* Dewan Mahasiswa UNPAD (1962)
* Ketua Dewan Pakar PKS (2004)
* Dewan penasehat Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Strategis
* (1995)



0 comments:

Post a Comment