Bakda Isya’ di Masjid
Asyhari, aku sengaja melangkah keluar rumah, tepatnya rumah kontrakan di Gang
Jambu 5 – Jajar. Berjalan menapaki tanah dengan beralas sandal, tidak ada deru
mesin dan kepulan asap knalpot. Mencoba hening dan mencari sejenak sunyi.
Sambil menikmati tanah basah karena hujan, aku mengambil helaan nafas sangat
dalam. Udara ini suci, bersih dan menyegarkan, pikirku. -+ 400 meter aku
melangkah ke utara.
Awalnya memang lapar,
perut terasa melilit, tapi dada juga bergemuruh. Entahlah, bisa jadi karena
segelas kopi pahit tadi yang sekali teguk langsung habis, atau karena
kepahitan-kepahitan lain. Langkahku pun terhenti oleh angkringan yang dijaga
oleh seorang bapak-bapak berumur -+ 40 tahun, berambut panjang dengan postur
tubuh yang tidak terlalu tinggi. Si Bapak terlihat membersamai anak lelakinya
yang sedang melihat youtube, di kemudian waktu, aku baru tahu si anak menyukai klip
tentang alat berat seperti pacul besar bermesin J.
Angkringan tersebut
menyediakan nasi sayur ala prasmanan, bukan seperti angkringan pada umumnya
yang mengemas sego kucing berbungkus kertas minyak. Satu entong nasi, dua
setengah sendok oseng buncis dan sepotong galantin, aku meminta tambahan
sambal. Si Ibu pun bergegas ke dalam mengambil sambal yang tinggal sedikit.
Sembari mengulurkannya kepadaku beliau berseloroh dengan harga cabai yang
mencapai 15.000/ons (150.000/kg). Aku dan 3 orang lainnya pun terlibat obrolan
singkat tentang harga cabai. Hahaha, aku merasa awam dengan harga sembako.
Sudah beberapa suapan aku
menikmati hidangan awam ala kampung tersebut, tetiba si bapak meminta
handhphonenya yang sedang diapakai Si Anak melihat backhoe, excavator dan
seperangkat alat berat yang sedang beroperasi di tanah terbuka. Aku membatin,
logika awam Si Anak pasti mengatakan ketakjuban melihat pacul raksasa yang bisa
bergerak sendiri, mengangkut bongkahan tanah yang sangat besar.
“Sik Le, bapak entuk
orderan sego kucing. Arep delivery”, Aku mencoba ikut campur dan bercanda
kepada keduanya. Sambil mengambil hp yang dilepas oleh Anak, Si Bapak pun
memulai obrolannya kepadaku, obrolan yang menurutku adalah ceramah ekonomi J. Beliau mengaku
sebagai agen BTPN. Aku heran, agen bank BTPN tapi jaga angkringan dan warung
klontong sederhana. Dasar, aku menjadi awam dibuatnya.
Si Bapak pun sudah
berubah dari seorang penjaga angkringan menjadi ‘agen’ keuangan, sales jasa
bank tepatnya. “Jadi, BTPN mempunyai produk berupa jasa tabungan dalam skala
mikro. Membuka tabungan hanya dengan 25.000.
Bisa menabung dengan sisa uang jajan yang Cuma 500 rupiah. Tidak terikat
dengan jam kerja atau buka-tutup kantor bank, tapi cukup mendatangi agen bank
yang ada di kampung-kampung. Transaksinya juga tidak perlu banyak form atau
kertas dengan isian angket yang njlimet.”
Sesekali aku menimpali
presentasi beliau dengan tanya jawab sederhana, mencoba menyembunyikan
kebodohanku tentang ekonomi. Awam ekonomi J.
Persis sales, dan
memang profesi beliau dahulu memang itu. “Tabungannya juga bisa buat transaksi
apapun, Mas.” Ia masih semangat menceramahiku, dan aku memang antusias untuk
menggali informasi. Kalau Mbah Wereyo bilang ‘ngangsu kaweruh’. Saat
bersinggungan dengan materi bunga/riba/bagihasil, dia sempat melontarkan
pertanyaan yang menurutku ‘rodo wagu’.
“Mas ikut sini?” Ia menunjuk
sebuah kantor yang terletak tepat di sebelah angkringannya, kantor DPC PKS.
Mungkin ketika melihat jenggotku, Si Bapak membaca tulisan hologram “Aku PKS”,
atau melihat kaos hitamku yang berpadu warna putih dan kuning sebagai bendera Partai
Keren Sekali, padahal tulisannya My Trip My Adventure J. “Owh, saya tinggal di
Gang Jambu V, 2 rumah timurnya pak Sri Widodo”, entah dia puas atau tidak
dengan jawabanku, tapi aku melihatnya masih fine-fine aja dengan itu
semua.
Beliau memaparkan bahwa
tabungan mikro tersebut bisa untuk membayar pulsa, tagihan listrik, PDAM dan
bahkan untuk membeli rokok di toko klontongnya. Imizing, aku membatin.
Beliau juga mengaku (baca: mengklaim) bahwa, keuntungan intensif (semacam premi
bank untuk agen) bukanlah motivasi utama. Memang benar Si Bapak juga tertarik
dengan fasilitas hp dari bank dengan syarat bisa closing sejumlah orang
tertentu, tapi lebih dari itu, ia juga ingin menghidupi komunitas yang beliau
ikuti; Mancing Mania.
Si Bapak menuju toko
klontong lantaran ada pembeli dan bertransaksi dengan pembayaran ala BTPN.
Busyet dah, ceramah ekonominya tentang produk jasa BTPN langsung terbukti.
Sebenarnya ada seorang
bapak-bapak yang sedari tadi melihat dan memperhatikan obrolan kami berdua, ia
berjenggot tipis. Si bapak berjenggot memutar sebuah benda bulat seperti yoyo,
ia terlihat merapikan senar pancing. Entahlah apa nama resminya di toko
pancing, tapi ia menjawab ‘kerekan’ saat ditanya Si Ibu.
“Mancing Mania, nama
komunitasnya ya pak?” aku mulai kepo, atau istilah sok cool-nya adalah curiousity.
Bapak berjenggot tipis pun mulai ‘siaran’, tapi intonasinya lebih kalem dari
bapak yang pertama tadi. Kalau bapak yang pertama ngomongnya ngebeat, berintonasi
cepat, kalau bapak kedua ini ngomongnya kalem, bukan cool sih, tapi ya
kalem aja J.
Beliau bilang kalau
komunitas Mancing Mania adalah komunitas mancing yang paling mania. Hehe,
iyalah sama namanya. Saat kutanya jarak paling jauh komunitas mancing, beliau
menjawab Kebumen. “Waduk Wadaslintang?” aku mulai s o t o y, dan Si Bapak
berjenggot pun membenarkan. Wadaslintang adalah salah satu kecamatan perbatasan
Kebumen-Wonosobo. Tempat itu mengingatkanku saat menjadi transporter (sopir)
jalanan yang penuh lekukan tajam, bersama teman-teman dan guru sekolah kami
bermaksud takziyah salah satu santriwati yang ditinggal wafat ayahnya.
Bagiku, perjalanan 400
meter malam ini tidak sia-sia. Sedikit bisa mengurai kepenatan dan kepahitan
kopi sore tadi. Berganti dengan teh tubruk pekat kecoklatan dengan gula yang
tidak terlalu banyak, sehingga tidak terlalu manis, tapi tidak pahit J. Senang rasanya
menjadi bagian dari awam, melihat teh hangat bersanding gorengan, membicarakan
air, ikan dan kesederhanaan. Menemukan serpihan-serpihan kehidupan yang
tercecer di jalanan, di angkringan dan kadang di awang-awang. Bila selama ini
kita terlalu dalam, maka mari kita coba keluar untuk menyapa kesederhanaan. Dan
tidak usah malu untuk menjadi awam.
Jajar#24.15#110217
0 comments:
Post a Comment