Friday, 10 February 2017


Bakda Isya’ di Masjid Asyhari, aku sengaja melangkah keluar rumah, tepatnya rumah kontrakan di Gang Jambu 5 – Jajar. Berjalan menapaki tanah dengan beralas sandal, tidak ada deru mesin dan kepulan asap knalpot. Mencoba hening dan mencari sejenak sunyi. Sambil menikmati tanah basah karena hujan, aku mengambil helaan nafas sangat dalam. Udara ini suci, bersih dan menyegarkan, pikirku. -+ 400 meter aku melangkah ke utara.

Awalnya memang lapar, perut terasa melilit, tapi dada juga bergemuruh. Entahlah, bisa jadi karena segelas kopi pahit tadi yang sekali teguk langsung habis, atau karena kepahitan-kepahitan lain. Langkahku pun terhenti oleh angkringan yang dijaga oleh seorang bapak-bapak berumur -+ 40 tahun, berambut panjang dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Si Bapak terlihat membersamai anak lelakinya yang sedang melihat youtube, di kemudian waktu, aku baru tahu si anak menyukai klip tentang alat berat seperti pacul besar bermesin J.

Angkringan tersebut menyediakan nasi sayur ala prasmanan, bukan seperti angkringan pada umumnya yang mengemas sego kucing berbungkus kertas minyak. Satu entong nasi, dua setengah sendok oseng buncis dan sepotong galantin, aku meminta tambahan sambal. Si Ibu pun bergegas ke dalam mengambil sambal yang tinggal sedikit. Sembari mengulurkannya kepadaku beliau berseloroh dengan harga cabai yang mencapai 15.000/ons (150.000/kg). Aku dan 3 orang lainnya pun terlibat obrolan singkat tentang harga cabai. Hahaha, aku merasa awam dengan harga sembako.

Sudah beberapa suapan aku menikmati hidangan awam ala kampung tersebut, tetiba si bapak meminta handhphonenya yang sedang diapakai Si Anak melihat backhoe, excavator dan seperangkat alat berat yang sedang beroperasi di tanah terbuka. Aku membatin, logika awam Si Anak pasti mengatakan ketakjuban melihat pacul raksasa yang bisa bergerak sendiri, mengangkut bongkahan tanah yang sangat besar.

“Sik Le, bapak entuk orderan sego kucing. Arep delivery”, Aku mencoba ikut campur dan bercanda kepada keduanya. Sambil mengambil hp yang dilepas oleh Anak, Si Bapak pun memulai obrolannya kepadaku, obrolan yang menurutku adalah ceramah ekonomi J. Beliau mengaku sebagai agen BTPN. Aku heran, agen bank BTPN tapi jaga angkringan dan warung klontong sederhana. Dasar, aku menjadi awam dibuatnya.

Si Bapak pun sudah berubah dari seorang penjaga angkringan menjadi ‘agen’ keuangan, sales jasa bank tepatnya. “Jadi, BTPN mempunyai produk berupa jasa tabungan dalam skala mikro. Membuka tabungan hanya dengan 25.000.  Bisa menabung dengan sisa uang jajan yang Cuma 500 rupiah. Tidak terikat dengan jam kerja atau buka-tutup kantor bank, tapi cukup mendatangi agen bank yang ada di kampung-kampung. Transaksinya juga tidak perlu banyak form atau kertas dengan isian angket yang njlimet.”

Sesekali aku menimpali presentasi beliau dengan tanya jawab sederhana, mencoba menyembunyikan kebodohanku tentang ekonomi. Awam ekonomi J.

Persis sales, dan memang profesi beliau dahulu memang itu. “Tabungannya juga bisa buat transaksi apapun, Mas.” Ia masih semangat menceramahiku, dan aku memang antusias untuk menggali informasi. Kalau Mbah Wereyo bilang ‘ngangsu kaweruh’. Saat bersinggungan dengan materi bunga/riba/bagihasil, dia sempat melontarkan pertanyaan yang menurutku ‘rodo wagu’.

“Mas ikut sini?” Ia menunjuk sebuah kantor yang terletak tepat di sebelah angkringannya, kantor DPC PKS. Mungkin ketika melihat jenggotku, Si Bapak membaca tulisan hologram “Aku PKS”, atau melihat kaos hitamku yang berpadu warna putih dan kuning sebagai bendera Partai Keren Sekali, padahal tulisannya My Trip My Adventure J. “Owh, saya tinggal di Gang Jambu V, 2 rumah timurnya pak Sri Widodo”, entah dia puas atau tidak dengan jawabanku, tapi aku melihatnya masih fine-fine aja dengan itu semua.

Beliau memaparkan bahwa tabungan mikro tersebut bisa untuk membayar pulsa, tagihan listrik, PDAM dan bahkan untuk membeli rokok di toko klontongnya. Imizing, aku membatin. Beliau juga mengaku (baca: mengklaim) bahwa, keuntungan intensif (semacam premi bank untuk agen) bukanlah motivasi utama. Memang benar Si Bapak juga tertarik dengan fasilitas hp dari bank dengan syarat bisa closing sejumlah orang tertentu, tapi lebih dari itu, ia juga ingin menghidupi komunitas yang beliau ikuti; Mancing Mania.

Si Bapak menuju toko klontong lantaran ada pembeli dan bertransaksi dengan pembayaran ala BTPN. Busyet dah, ceramah ekonominya tentang produk jasa BTPN langsung terbukti.

Sebenarnya ada seorang bapak-bapak yang sedari tadi melihat dan memperhatikan obrolan kami berdua, ia berjenggot tipis. Si bapak berjenggot memutar sebuah benda bulat seperti yoyo, ia terlihat merapikan senar pancing. Entahlah apa nama resminya di toko pancing, tapi ia menjawab ‘kerekan’ saat ditanya Si Ibu.

“Mancing Mania, nama komunitasnya ya pak?” aku mulai kepo, atau istilah sok cool-nya adalah curiousity. Bapak berjenggot tipis pun mulai ‘siaran’, tapi intonasinya lebih kalem dari bapak yang pertama tadi. Kalau bapak yang pertama ngomongnya ngebeat, berintonasi cepat, kalau bapak kedua ini ngomongnya kalem, bukan cool sih, tapi ya kalem aja J.

Beliau bilang kalau komunitas Mancing Mania adalah komunitas mancing yang paling mania. Hehe, iyalah sama namanya. Saat kutanya jarak paling jauh komunitas mancing, beliau menjawab Kebumen. “Waduk Wadaslintang?” aku mulai s o t o y, dan Si Bapak berjenggot pun membenarkan. Wadaslintang adalah salah satu kecamatan perbatasan Kebumen-Wonosobo. Tempat itu mengingatkanku saat menjadi transporter (sopir) jalanan yang penuh lekukan tajam, bersama teman-teman dan guru sekolah kami bermaksud takziyah salah satu santriwati yang ditinggal wafat ayahnya.

Bagiku, perjalanan 400 meter malam ini tidak sia-sia. Sedikit bisa mengurai kepenatan dan kepahitan kopi sore tadi. Berganti dengan teh tubruk pekat kecoklatan dengan gula yang tidak terlalu banyak, sehingga tidak terlalu manis, tapi tidak pahit J. Senang rasanya menjadi bagian dari awam, melihat teh hangat bersanding gorengan, membicarakan air, ikan dan kesederhanaan. Menemukan serpihan-serpihan kehidupan yang tercecer di jalanan, di angkringan dan kadang di awang-awang. Bila selama ini kita terlalu dalam, maka mari kita coba keluar untuk menyapa kesederhanaan. Dan tidak usah malu untuk menjadi awam.


Jajar#24.15#110217

0 comments:

Post a Comment