Dulu saya pernah menderita kolesterol jahat, stadium 4. Cek dengan skala
satuan maupun ratusan hasilnya sama, di angkat empat koma dan empat ratus
sekian puluh. Skala satuan muncul pada saat saya periksa lewat sampel darah,
sedangkan skala ratusan muncul saat menggunakan pen-elektro-magnetik (kalau ga
salah namanya begitu). Detailnya lupa, tapi ada pen yang tersambung di device
dengan screen mini. Kemudian muncul lah beberapa angka yang menunjukan ragam
mineral dalam tubuh kita. Mau cek gula, asam urat, darah dan lain sebagainya
cukup dengan pen yang ditempelkan di salah satu ujung jari kita.
Praktisi atau terapis yang saya datangi saat cek menggunakan pena sempat
menanyakan status pernikahan dan anak. Saya jawab belum menikah dan otomatis
belum punya anak. Di sesi obrolan seperti itu muncul ungkapan yang
mewanti-wanti tentang kesehatan dan reproduksi saya, “Wah, kalau kondisi seperti
ini sepertinya sulit mas (punya anak)”. Ucap beliau mengingatkan saya.
Ungkapan itu terngiang dan seolah menjadi momok tersendiri. Gara-gara
gorengan dan wedus saya berpotensi mandul? Tapi alhamdulillah, saya termasuk
orang yang bisa menghibur dan menguatkan diri. Kira-kira kayak wolverine lah,
cepat menyembuhkan penyakit, tapi versi psikologis. Hehehe. Justifikasi seperti
tadi tetap saya jadikan ‘red line’ tapi tetap dibuat santai. Alias tetap ngopi,
nggorengan dan sop kaki kambing sriwedari jalan terus.
Waktu berlalu, dan akhirnya saya menikah. 5 bulan pertama pernikahan
saya dan istri kami lalui dengan LDR. Saat itu saya sudah menguasai jalur
pantura. Saya masih menganggap wajar belum ada pembuahan. Karena walaupun bisa
dipastikan sebulan sekali/dua kali saya bertemu istri (solo-purwakarta), tapi
kami bertemu dengan sisa tenaga setelah masing-masing dari kami lelah
beraktivitas. Kebetulan istri masih kuliah di Bandung.
Setelah memasuki bulan ke enam istri pindah ke kampung halaman saya. Kami
memilih lantai dua untuk bermukim. Sedangkan bapak dan ibu saya di lantai satu.
Dan ketika itu istri juga masih pp antara kampung dan Solo. Memakai motor
sendiri dengan track ala kontur perbukitan.
Alhamdulillah, sejak tidak lagi LDR, istri pernah beberapa kali telat
haid. Dan itu adalah tanda adanya pembuahan setelah ikhtiar kami. Akan tetapi
beberapa pembuahan sempat gagal. Bahkan istri pernah dioperasi kiret. Biayanya sama
seperti melahirkan, tapi tidak ada seorang pun yang terlahir J.
Kondisi-kondisi tersebut masih terbayangi dengan kolesterol saya. Apakah
memang karena itu atau ada sebab lain. Saya sendiri tidak melakukan terapi atau
mengkonsumsi makanan khusus penunjang kesuburan.
Dan alhamdulillah, tibalah bulan Ramadhan di tahun 2016. Dengan penuh
pengharapan, munajat, merendahkan diri, menghinakan diri serta meminta ampunan
dari Yang Maha Digdaya, Allah swt, Ramadhan di tahun itu adalah momen berharga
bagi keluarga mungil kami. Bila prediksi sederhana tidak salah, maka Alfar
Rayyiis (den baguse ngarso J ), anak pertama saya, ‘terbentuk’ di bulan penuh dengan kemuliaan itu.
Memasuki Ramadhan saya memang lebih menggiatkan diri untuk membersihkan
semuanya. Membersihkan penyakit hati dan secara tidak langsung puasa kita
membatasi dari badogan-badogan yang sia-sia. Bahwa Ramadhan adalah bulan mulia,
setiap helaan nafas di bulan itu adalah nafas di bulan yang terberkahi, apalagi
aktivitas-aktivitas kebaikan lainnya, pasti Allah semakin membuka pintu
terkabulnya harapan dan raja’ kita. Di sisi lain, puasa mempunyai dimensi penyucian
ragawi. Bila sebelum Ramadhan pola dan materi makanan kita didominasi dengan
junk food, maka di bulan puasa anatomi tubuh kita mendapatkan keberkahan di
bulan mulia.
Kisah Ramadhan dan perlawanan terhadap kolesterol ini akhirnya pernah
saya sampaikan ke beberapa orang. Di antaranya adalah warung tenda lamongan di
dekat lapangan Teras. Yang setelah 6 tahun menunggu, akhirnya lahirlah cucu
beliau. Beliau juga bercerita bahwa pembuahan cucu mereka terjadi di bulan
Ramadhan (menurut mereka), mereka juga ingat tentang cerita saya. Dan kebetulan,
ada ikhtiar-ikhtiar lain yang mereka lakukan.
Terawangan awam saya, pembuahan terjadi ketika kondisi suami dan istri
bagus. Sehat jasmani dan rohani. Tidak saat capek maupun stres. Bagi teman-teman
yang mengalami masa-masa sulit dalam menanti buah hati, ada baiknya
mengevaluasi aktivitas harian dan kondisi fikirnya. Mungkin fisiknya terlalu
terporsir, atau kondisi fikir kita terbebani dengan masalah-masalah yang berat
dll. Dan… semua itu mari dinetralisir dan dijernikan di bulan Ramadhan. Bulan keajaiban.
Selamat beribadah, dan selamat berikhtiar. Toh akhirnya, ikhtiar kita
akan menjadi ibadah bila kita sejak awal pasrah pada takdir Sang Pencipta, bagaimanapun
hasilnya. Kalaupun tidak demikian maka, mungkin Allah mengamanahi kita dalam
bentuk yang lain. Santai saja. Uhibbukum fillah.
#########
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا
الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا
ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
(المؤمنون: 14)
Shodaqallahul adhiim, wa shadaqa nabiyyuhul kariim.
0 comments:
Post a Comment