Tuesday, 7 May 2019




Dulu saya pernah menderita kolesterol jahat, stadium 4. Cek dengan skala satuan maupun ratusan hasilnya sama, di angkat empat koma dan empat ratus sekian puluh. Skala satuan muncul pada saat saya periksa lewat sampel darah, sedangkan skala ratusan muncul saat menggunakan pen-elektro-magnetik (kalau ga salah namanya begitu). Detailnya lupa, tapi ada pen yang tersambung di device dengan screen mini. Kemudian muncul lah beberapa angka yang menunjukan ragam mineral dalam tubuh kita. Mau cek gula, asam urat, darah dan lain sebagainya cukup dengan pen yang ditempelkan di salah satu ujung jari kita.

Praktisi atau terapis yang saya datangi saat cek menggunakan pena sempat menanyakan status pernikahan dan anak. Saya jawab belum menikah dan otomatis belum punya anak. Di sesi obrolan seperti itu muncul ungkapan yang mewanti-wanti tentang kesehatan dan reproduksi saya, “Wah, kalau kondisi seperti ini sepertinya sulit mas (punya anak)”. Ucap beliau mengingatkan saya.

Ungkapan itu terngiang dan seolah menjadi momok tersendiri. Gara-gara gorengan dan wedus saya berpotensi mandul? Tapi alhamdulillah, saya termasuk orang yang bisa menghibur dan menguatkan diri. Kira-kira kayak wolverine lah, cepat menyembuhkan penyakit, tapi versi psikologis. Hehehe. Justifikasi seperti tadi tetap saya jadikan ‘red line’ tapi tetap dibuat santai. Alias tetap ngopi, nggorengan dan sop kaki kambing sriwedari jalan terus.

Waktu berlalu, dan akhirnya saya menikah. 5 bulan pertama pernikahan saya dan istri kami lalui dengan LDR. Saat itu saya sudah menguasai jalur pantura. Saya masih menganggap wajar belum ada pembuahan. Karena walaupun bisa dipastikan sebulan sekali/dua kali saya bertemu istri (solo-purwakarta), tapi kami bertemu dengan sisa tenaga setelah masing-masing dari kami lelah beraktivitas. Kebetulan istri masih kuliah di Bandung.

Setelah memasuki bulan ke enam istri pindah ke kampung halaman saya. Kami memilih lantai dua untuk bermukim. Sedangkan bapak dan ibu saya di lantai satu. Dan ketika itu istri juga masih pp antara kampung dan Solo. Memakai motor sendiri dengan track ala kontur perbukitan.

Alhamdulillah, sejak tidak lagi LDR, istri pernah beberapa kali telat haid. Dan itu adalah tanda adanya pembuahan setelah ikhtiar kami. Akan tetapi beberapa pembuahan sempat gagal. Bahkan istri pernah dioperasi kiret. Biayanya sama seperti melahirkan, tapi tidak ada seorang pun yang terlahir J.

Kondisi-kondisi tersebut masih terbayangi dengan kolesterol saya. Apakah memang karena itu atau ada sebab lain. Saya sendiri tidak melakukan terapi atau mengkonsumsi makanan khusus penunjang kesuburan.

Dan alhamdulillah, tibalah bulan Ramadhan di tahun 2016. Dengan penuh pengharapan, munajat, merendahkan diri, menghinakan diri serta meminta ampunan dari Yang Maha Digdaya, Allah swt, Ramadhan di tahun itu adalah momen berharga bagi keluarga mungil kami. Bila prediksi sederhana tidak salah, maka Alfar Rayyiis (den baguse ngarso J ), anak pertama saya, ‘terbentuk’ di bulan penuh dengan kemuliaan itu.

Memasuki Ramadhan saya memang lebih menggiatkan diri untuk membersihkan semuanya. Membersihkan penyakit hati dan secara tidak langsung puasa kita membatasi dari badogan-badogan yang sia-sia. Bahwa Ramadhan adalah bulan mulia, setiap helaan nafas di bulan itu adalah nafas di bulan yang terberkahi, apalagi aktivitas-aktivitas kebaikan lainnya, pasti Allah semakin membuka pintu terkabulnya harapan dan raja’ kita. Di sisi lain, puasa mempunyai dimensi penyucian ragawi. Bila sebelum Ramadhan pola dan materi makanan kita didominasi dengan junk food, maka di bulan puasa anatomi tubuh kita mendapatkan keberkahan di bulan mulia.

Kisah Ramadhan dan perlawanan terhadap kolesterol ini akhirnya pernah saya sampaikan ke beberapa orang. Di antaranya adalah warung tenda lamongan di dekat lapangan Teras. Yang setelah 6 tahun menunggu, akhirnya lahirlah cucu beliau. Beliau juga bercerita bahwa pembuahan cucu mereka terjadi di bulan Ramadhan (menurut mereka), mereka juga ingat tentang cerita saya. Dan kebetulan, ada ikhtiar-ikhtiar lain yang mereka lakukan.

Terawangan awam saya, pembuahan terjadi ketika kondisi suami dan istri bagus. Sehat jasmani dan rohani. Tidak saat capek maupun stres. Bagi teman-teman yang mengalami masa-masa sulit dalam menanti buah hati, ada baiknya mengevaluasi aktivitas harian dan kondisi fikirnya. Mungkin fisiknya terlalu terporsir, atau kondisi fikir kita terbebani dengan masalah-masalah yang berat dll. Dan… semua itu mari dinetralisir dan dijernikan di bulan Ramadhan. Bulan keajaiban.

Selamat beribadah, dan selamat berikhtiar. Toh akhirnya, ikhtiar kita akan menjadi ibadah bila kita sejak awal pasrah pada takdir Sang Pencipta, bagaimanapun hasilnya. Kalaupun tidak demikian maka, mungkin Allah mengamanahi kita dalam bentuk yang lain. Santai saja. Uhibbukum fillah.

#########

ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (المؤمنون: 14)

Shodaqallahul adhiim, wa shadaqa nabiyyuhul kariim.


0 comments:

Post a Comment